top of page

Tentang Cinta dan Kekalahan Hidup: Sebuah Wawancara Imajiner



Salvador Dalí - Uranium and Atomica Melancholica Idyll (1945)

Di kepulauan Karibia, wabah Kolera serta peperangan yang tengah berkecamuk menjadi latar dari setengah abad penantian Don Floro terhadap Fermina Daza. Sementara itu, Mahdi Jayasri terasing di Praha yang dingin dalam penantiannya terhadap Sulastri. Tahun-tahun lewat tanpa permisi. Di sana ia “berteman sepi, berkawan kelam” seperti dituliskannya pada surat-surat tak terbalaskan itu sebelum akhirnya dikabari kalau sang kekasih undur diri dari kehidupan.


Dua kisah tentang “lelaki yang menunggu” itu diceritakan Truman pada pertemuan kami di kediamannya, sebuah rumah kesepian di punggung perbukitan yang menghampar. Ia mendirikan rumah yang didominasi ormanen kayu itu sejak tiga daur kecil silam. “Di sini," cerita Truman, “kita bisa menyaksikan bagaimana metari seolah ditarik seseorang ke balik bukit itu."


Meja kopi mejeng di beranda. Di halaman pinggir adalah kebun kecil yang ditanami bebungaan. Sementara langit yang tampak lebih melengkung menjadi latar tempat nangkring di teras. “Aku ini seseorang yang milih untuk menyepi, bukan memilih kesepian,” kata Truman ketika menerima kedatanganku pada Sabtu lalu. “Kupikir, sekali pun sore yang suam nyalar membentangkan langit selia kemerahan di sini, kesepian tetaplah bukan sesuatu yang aku inginkan.”


Pada perjumpaan itu di kediamannya, ia terlihat rileks. Sesekali menyesap rokok serta menenggak Intisari. Wawancara berikut dicuplik dari pertemuan itu.


Apa yang mendorongmu untuk menetap di sini?


Untuk membuatmu paham, aku akan berangkat dari penggalan sajak milik Chairil ini. Aku kira: beginilah nanti jadinya. Ia kawin, beranak, dan berbahagia. Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.


Lantas, suatu ketika, setelah saban hari menyusuri jalan yang tiada bertaburan bunga, tetiba aku merasa lelah menjadi sia-sia. Aku, kini dan di sini, cuma ingin menghabisi waktuku yang tinggal sisa-sisa.


Memangnya apa yang terjadi?


Di beranda kampus aku pernah mencintai seorang perempuan. Aku tak tahu bagaimana ia kini. Kami terakhir kali bersua 27 tahun silam. Namun, kamu bisa membayangkannya sebagai seorang perempuan yang mengenalkan Dostoevsky dan Gabriel García Márques padaku saat usia 20 tahun. Ia adalah seorang eksil dari suralaya, yang terusir tersingkir sebab membikin malaikat jatuh padanya.


Yang barangkali belum berubah adalah harum senyumnya nyalar merekah tatkala ia bicara. Atau selia matanya yang serupa nur di antara gelap, atau suaranya yang merdu serupa kidung dalam senyap. Atau tato dream catcher di tengkuknya, atau kebiasaannya memakai kaus kaki terbalik sewaktu tidur, atau kecintaannya terhadap A.C Milan.


Sayap-sayapnya pernah patah, namun segala sesuatu seolah telah termaafkan. Jika tak boleh menganggap seseorang sebegitu sempurna, barangkali ia adalah gambaran dari kegagalan kita mendefinisikan kesempurnaan itu sendiri.


Tapi hidup, sebagaimana adanya kau tahu, seperti dicatat Chairil, hanyalah rentetan kekalahan yang ditunda-tunda sebelum pada akhirnya kita menyerah. Ia pergi. Atau barangkali aku meninggalkannya, membiarkan ia tetap bahagia.


Kenapa kamu memutuskan pergi?


Entah. Aku merasa tak percaya diri. Kamu tahu, sulit untuk berpikir bahwa aku akan meniggalkannya. Namun, apa yang lebih getir tinimbang menyadari bahwa aku akan membuatnya tak bahagia?


Begitu hari perpisahan tiba, dengan segala kerendahan hati, segala ironi, dan kedukaan, – seperti perasaan seorang Ibu kepada anaknya tatkala hari penghabisan – aku mengklaim hak untuk tidak bahagia, sungguhpun aku tahu orang terakhir yang memutuskan demikian memilih mati gantung diri dalam keterasingannya di sebuah mercusuar terbengkalai di bukit antara Puttenham dan Elstead dalam cerita yang dikisahkan Aldous Huxley.


Ada suatu perasaan yang putus asa bagaimana pun juga, seolah palagan yang membatin ini menyudutkanku ke tepian jurang yang seribu kali lebih sepi, atau bahkan sejuta kali lebih sunyi daripada malam di pekuburan.


Namun, akan kuterima yang demikian tanpa pertanyaan. Lagipula, setelah semuanya, setelah hari-hari ini berlalu, segala sesuatunya akan hilang, memudar di hampa udara seiring perginya waktu. Sementara aku menatapi kekosongan dan membual atas nama harapan. Lagipula, apa harapan itu? Yang nyalar dan berkali-kali menyeretku pada kesadaran akan batas?


Tapi, bukankah keputusan itu cuma sepihak saja? Maksudku, apakah ia juga dilibatkan dalam perpisahan tersebut?


Kami waktu itu tak lebihnya sebagai seorang belia yang menganggap bahwa hidup bisa direngkuh sambil bercinta. Kami pernah mengangankan: tinggal di sebuah rumah kayu di punggung bukit, seperti tempat ini, dan berharap semoga tak ada teleskrin. Selepas bercinta kami akan bergantian membacakan buku atau sekedar memandangi dari jauh suasana kota di mana kapitalisme sedang dipertontonkan dengan apik.


Segala sesuatunya seolah tampak begitu syahdu padahal kami saling menutupi mata masing-masing. Entah oleh cinta, romantisme, atau kenaifan kami yang fatalistik, kaotis, sampai pada akhirnya terdesak oleh apa yang tak tertanggung dan yang berada di luar kesanggupan kami.


Intinya, kami, atau mungkin hanya aku, menyerah pada keadaan. Perbedaan kelas barangkali adalah causa proxima, di samping itu hal-hal lain membuntutinya. Lantas, apakah aku mesti menyalahkannya dan ia pun menyalahkanku atas perpisahan itu setelah realitas mengucapkan “selamat datang”?


Lalu, kenapa kamu masih tak beranjak dari kenangan tentangnya?


Kupikir dan bagiku, pergi ataupun bertahan menjadi tak ada bedanya saat itu. Namun, satu-satunya yang mesti kulakukan terhadap seseorang yang aku cintai adalah mencintainya. Mungkin tampak seperti sekelumit ironi, namun demikianlah adanya – meminjam larik puisi Pablo Neruda yang juga pernah kukirimkan padanya, I love her without knowing how, or when, or from where, I love her straightforwardly, without complexities or pride; so I love her because I know no other way.


Ia mungkin berhasil keluar dari perangkap kenangan kami, dan aku tidak. Dan, sungguhpun itu, aku tak putus mencintainya seperti yang pernah perempuan itu terka.


Di situlah, kukutip Camus, letak semua cintaku terhadap hidup ini: hasrat sunyi untuk segala hal yang mungkin takkan pernah bisa kumengerti.


Kamu merasa kehilangannya setelah itu?


Tentu saja. Perasaan itu kemudian mengendap-endap di bawah meja tempat kami pernah menghabisi hidup yang serupa tai kucing ini. Ada yang berserakan di atas sofa tempat kami menonton kebohongan televisi, berceceran di etalase kulkas yang menggigil kedinginan, lalu semuanya meledak dalam keheningan seakan kenangan indah yang pernah dimiliki ditarik ke langit.


Adakalanya aku akan merindukan malam demi malam bersamanya yang lewat tanpa permisi di antara botol-botol anggur. Kala itu, musik yang melantun sepanjang malam adalah elegi anggun atas kedukaan, sementara cemilan adalah penghiburan atas rasa lapar yang mengolok.


Kami menertawakan diri di sana, sejenak larut seperti waktu, dalam kelupaan atas penderitaan-penderitaan, dalam perayaan atas kemurungan tak berujung dan kesedihan yang entah batasnya. Aku kadang merindukan saat-saat itu.


Apa yang biasa kamu lakukan jika kerinduan padanya tiba?


Setelah hari berganti, tahun-tahun berlalu, perasaan rindu itu memang nyalar membayang di balik punggungku seperti anak ayam membuntuti induknya. Namun, pada angin di lembah itu aku telah membagi duka, berjanji menyerah di hadapan sepi. Yang patah tlah kuterima. Takada lirih yang luruh, meski di ruang hampa sedih mengaduh dalam tangis kehilangan yang entah reda.


Aku pernah menghabiskan waktu mencintai senyum perempuan itu di hari-hari terakhir kami. Aku tahu takkan melihatnya lagi dan tak ada yang lebih indah dari itu, dan aku mesti bersiap untuk menjalani hidup seperti sediakala. Aku tak akan menyalahkan apa yang tak bisa ku ubah.


Pernah mencoba menghubunginya lagi?


Setelah sekian tahun, ia menghubungi untuk mengundangku ke perayaan pernikahannya. Tapi aku tak datang, – kamu bisa menerka alasannya – meskipun menyadari bahwa di sanalah kesempatan terakhirku mencumbu-pandang senyumnya, di hadapan suaminya.


Dalam kurun yang sebentar setelah berita itu terbit, segera segala sesuatunya seolah hancur lebur. Orang-orang barangkali telah berada dalam sekoci Nuh yang menuju Timur. Sementara aku bangun kesiangan dan tertinggal di sini sendirian. Sinar matahari sirna. Katastrofe yang mendadak baru saja menimpa permukaan bumi ini, lebih ironis lagi, cuma aku yang tersisa.


Sama seperti Yagus dalam suratnya kepada seseorang yang panoptik itu, di sinilah aku setelah hari-hari yang sulit itu berlalu: Membual. Terpuruk dan tak berdaya atas waktu dan hasrat pesimistik yang menghancurkan… Aku ingin menjadi apapun agar tak merasa sendirian. Aku ingin menjadi apapun demi maaf atas keberadaanku. Aku ingin menjadi apapun asalkan bukan kehampaan. (Truman mengatakan ini sambil membaca surat Yagus Prasetyo yang terhimpun dalam buku Aksi Sepihak).


Ada satu masa di mana aku dikerubungi sesal. Aku masih ingat dengan detail bagaimana perasaan serta lanskap yang melatarinya. Begitu malam turun di teras rumah, yang terlintas hanyalah keinginan untuk mengutuk. Sebab apapun tampak sebagai kutukan tatkala kamu kesepian.


Namun waktu terus berlangsung. Dunia tak kiamat.


Kini dan di sini, aku cuma ingin mencintainya seperti Don Floro nunggu dokter Juvenal, suami dari perempuan yang ia cintai serta nanti-nanti selama setengah abad, Fermina Daza, agar lekas mati. Lalu aku melamarnya dan ia akan kubawa menyusuri sungai Magdalena. Kami bercinta di atas kapal sebagai seorang tua yang hendak merayakan hari-hari menuju kematian.


Atau, sungguhpun hal tersebut takkan pernah benar-benar terjadi, aku akan menapaki jalan sunyi Mahdi Jayasri yang menunaikan janji mencintai Sulastri Kusumaningrum sampai detik paling akhir, meski mesti “berteman sepi, berkawan kelam” seperti yang ditulisnya dalam surat-surat tak terbalaskan itu.


Kalau berkesempatan menunaikan tiap harapan tentangnya, apa yang bakal kamu lakukan?


Aku ingin mengatakan apa yang dulu tak pernah sempat terucap jika segalanya masih. Meskipun kelak, ia mungkin hanya akan menemukan ketiadaan makna atas keputusasaan. Tak akan ada tanya tentang perasaan yang berharap jawabnya berubah.


Di samping itu, aku seringkali berharap ia mau tinggal di sini bersamaku, menghidupi kebun kecil di belakang rumah yang pernah kami angankan. Sesekali pada malam Minggu kami akan membikin babi panggang dan membakar waktu – yang lampau dan esok tanpa bumbu. Mungkin, sambil mengundang beberapa kawan semasa kuliah. Kami menghabisi malam dengan berbotol anggur, sosis, suara jangkrik, kidungan Marissa Nadler, dan potongan kenangan.


Atau, aku akan mengajaknya sekedar duduk-duduk berduaan di pelataran, memandangi mega yang melengkung jingga sambil bertanya siapa yang akan lebih dulu dihampiri satu-satunya kepastian yang ditawarkan hidup: kematian.



Bandung, 4 Januari 2021

Angga

Comments


Logo Invert.png

Suaka Sastra

  • Instagram

Antinovel merupakan rak paling ujung bagi sekumpulan catatan kolase cemas yang ditulis menjelang maut. Di situs ini, secara spesifik Antinovel – sebagai media amatiran – berupaya menyalin peristiwa-peristiwa (sebagai) sastra.

© 2023 by The Artifact.

Proudly created with Wix.com

bottom of page