Seorang nenek tak hentinya menangis usai saja tiba di rumah Pak RT Usman. Malam itu Wimaya, cucunya, tak kunjung pulang. Petugas keamanan lantas lekas-lekas mencari gadis malang tersebut tak lama setelah Pak Usman mengumumkan berita kehilangan Wimaya di surau, sementara para bapak yang tak ingin anak-anaknya lenyap juga ikut serta membantu pencarian.
“Maya mesti ditemukan pagi ini sebelum matahari terbit, sebelum panggilan Subuh dikumandangkan modin,” titah Pak Usman pada warganya, “tak boleh ada satu wargaku yang merasa kesepian.”
Maka bulan adalah senter yang menyorot langkah para bapak, yang menenteng golok, senapan dan lentera. Anjing menyalak malam-malam. Teriakan demi teriakan tak hentinya mengisi udara.
Pukul sebelas hujan turun deras. Para bapak mengistirahatkan diri di gubuk milik pemburu babi. Suara jangkrik pukul dua belas menandai hujan berhenti. Pukul dua pagi, tim pencari sudah sampai tepi hutan. Mereka berpikir tak mungkin rasanya Wimaya menyeberangi sungai deras itu.
Pagi berselang sang nenek tak jua mau bangun dari tidurnya. Dirasakan denyut nadi dan suara napasnya namun tiada tanda orang hidup. Surau kemudian mengumumkan berita kematian.
“Sungguh malang nasibmu, Maya. Nenekmu berpulang, sementara kau tak kunjung pulang,” ucap Pak RT dalam hatinya, meratapi kematian yang sepi sang nenek.
***
“Kemarin pagi seorang warga meninggal karena kesepian. Saya tak ingin kejadian ini terulang,” Pak Usman membuka pidato di balai RT, di hadapan para warga, “siapa, dan apa pun yang membawa Wimaya mesti kita lenyapkan. Anak-anak di desa ini harus tumbuh tanpa kesepian, sementara orang-orang tua tak boleh meninggal dalam kesepian.”
Menjelang Magrib, perangkap kemudian dipasang di titik-titik hutan. Kali ini tim pencari menjadi berlipat-lipat jumlahnya. Lodong telah siap dinyalakan. Jerami tinggal dipantik api. Malam hampir turun sebentar lagi.
Kaki berhentakkan jalan tanah, gonggong anjing menjelma seruan, sementara hembus angin berpadu dedaunan adalah musik pengiring perang. Namun, beberapa meter menuju lereng, anjing-anjing menjadi diam, juga para bapak. Di sana berdiri sebuah gerbang kayu, yang dari celahnya kelihatan bangunan besar menjulang ke langit malam.
Letusan senapan kemudian memecah malam tatkala sesosok raksasa tetiba keluar dari dalam bangunan besar itu. Para bapak mengambil formasi, sementara anjing-anjing berlarian kehilangan nyali. Lodong dinyalakan sekali lagi, letusannya yang mahadahsyat sedikit membikin sang raksasa terhuyung.
Alih-alih melawan, sang raksasa mengambil posisi membelakangi para bapak. Tangannya yang besar menitah anak-anak masuk ke dalam bangunan. Punggungnya yang kasar mulai bercucur darah. Dibalik pohon dua orang bapak tengah menyetel bazoka. Melihat ancaman kematian itu, sang raksasa kemudian berlutut, hendak menyerah. Namun pelurunya kadung dilesatkan.
Ia tersungkur di tanah. Air mata kemudian menganak di pipi sang raksasa. Di masa penghabisannya itu ia berkata, “Aku tumbuh dalam asuhan kesepian, di sini, di tempat yang kalian hancurkan. Aku amat memahami bagaimana rasanya terlibat dalam perasaan itu. Aku tak ingin ada seorang pun yang merasakan penderitaan ini.
“Sedari sepuluh tahun yang lalu, aku mengambil anak-anak yang hendak ditinggal mati orang tua satu-satunya, aku tak ingin mereka melihat kematian dan merasa berduka karenanya. Kemarin petang, seorang anak dari desa kalian aku bawa kemari. Aku tahu neneknya akan berpulang, dan aku takut ia akan bersedih. Di sini ia akan aku jaga.
“Kini aku tamat. Jagalah mereka. Jangan biarkan anak-anak itu tumbuh dalam kesepian,” sang raksasa berhenti berkata, berhenti menangis, berhenti terjaga.
Bandung, 25 November 2020
Angga
*Tulisan ini dimuat dalam buku Antologi Cerita Anak: Dunia dan Harapan Kita (Situseni, 2021).
Comments