Sedari dulu baru kusadari bahwa ku telah menjejaki turunan dan tanjakan di kehidupan. Sedari kini pula ku mengingat orang-orang pembuka tuk menjalani berkehidupan.
Malam yang sunyi harum harmu kemenyan dalam tungku kecil terbuat dari tanah liat itu disebut Parupuyan dengan seonggok serpihan batu bara yang menyala pula di nadiku. Selagi ku terpejam di pangkuan seseorang yang mengantarku pada malam penuh kerahasiaan, sayup-sayup ku mendengarkan perbincangan orang-orang di sekitar yang melingkar seakan angin mengantarkan bunyi pada telingaku yang setengah sadar karena kantuk. Kiranya sekilas tergambarkan dalam D.E, Manu Ture “Sedapnya tiupan bayu Simelungun yang sepoi basah ini!”
Maklumilah anak ingusan yang tak tahu menahu, yang hanya mengikuti arah angin dan lambaian tangan. Di kepalanya hanya penantian makanan dan jamuan. Terutama tumpeng yang bercampur asin jambal serta bebuahan dalam sesajian yang ta’ terburu karna kantuk datang. Lagi pula untuk mendapatkan apa yang diinginkan harus menunggu segala prosesi usai.
Percakapan itu sayu, lirih kadang menggebu laik gelombang menghantam Bima dalam pencarian tirta pawitra. Bagaimana tidak, sesekali aku terbangun dengan mata yang meletet padahal ku juga ta’ tahu apa maksud dari suara menggebu tersebut. Setelah bincangannya mereda ku kembali pulas setengah sadar.
Asap mengepul dibarengi harmu harum yang kembali tercium. Keadaan sunyi seketika, hanya suara jangkrik dan bau tanah basah seakan dunia berhenti sejenak. Semua melambat dalam hening kiranya. Sebelumku dibangunkan dan membuka mata yang lunglai, menggosokkan dua bilah tangan yang berujung mengepal dengan disaksikan purnama nan perak-peranda. Untuk mengantarku pulang.
Satu dua langkah ku dituntun. Seseorang menghampiri usai bersalaman dengan yang menuntunku dan memberikan buah. Aku tak tahu siapa, dia orang yang tak ku kenal sama sekali sebelumnya.
Bandung
Comments