“Kemana kau bakal mengajakku kalau aku datang ke kotamu?” setelah jeda yang hampir merentang sepertanak nasi, kau akhirnya memotong sepi yang terhidang di meja besi di teras Indomaret itu. Ia mungkin mengartikan pertanyaanmu bukanlah suatu pengharapan tentang pertemuan yang akan kalian gelar sehabis ini. Ia tak akan menyambut ketibaanmu dengan peluk di mana segala rindu meluruh usai perpisahan menjerat kalian di peron stasiun beberapa jam lagi.
“Aku tak tahu,” katanya.
Tak banyak kata yang kalian tukar. Menit berlaluan memindahkan peristiwa; seorang bocah mendorong pintu kaca dengan satu tangannya menggenggam cone es krim, sang Ibu memarahinya sebab ia tetiba membentangkan sayap; sepasang pengemis tak jadi menghampiri meja kalian dan membisikan ke salah satunya, “tak ada yang bisa mereka beri, bahkan cinta”.
Aram temaram sudah merata di langit, hujan barangkali berderai sebentar lagi. Kau merapikan bungkus bekas makanan serta majalah mingguan yang kau tebus di meja kasir. Sementara, diam-diam ia mencampakkan sisa pertemuan itu. Ia tak tahu, dan tak pernah tahu kau ingin lebih lama dan lebih lama lagi bersisian bersamanya, dengan segala sesuatunya. Dengan enigma yang tak tertuntaskan, sepoi angin, romantika yang kosong. Kau ingin bertukar sepah dengan hidup yang kini tampak lebih indah dan brutal di saat bersamaan.
Beginilah akhir sekuel dari seri dramatik tentang kisah kalian yang picisan cum menyedihkan, meski kau bersikeras mengatakan berbahagia dengannya. Ia tetap meninggalkanmu, atau kau meninggalkannya. Tak ada yang beda. Setelah semuanya, setelah hari-hari yang sulit ini berlalu, ia mungkin tak akan berhenti melupakanmu, bertemu dengan lelaki lain, menikah, beranak pinak, dan berbahagia. Kau memang tak dikutuk disumpahi eros, yang kemudian lalu merangkaki dinding buta, dan tak satu juga pintu terbuka. Lagi pula, kau bukanlah tipikal sepertikan itu. Kau berjanji akan mencintainya sampai detik paling akhir, sampai napas tinggal sehela lagi. Dan cuma itu yang bisa kau lakukan.
Kau menyadari dengan segenap hidupmu bahwa mencintai perempuan itu adalah konsekuensi dari pilihan-pilihan atas keberadaannya. Tapi, bagaimanakah kau akan bertahan dalam perasaan sepi yang amat panjang, sepanjang selamanya itu?
“Tak bisakah kau berpura kalau kita masih belum selesai? Kau bisa pura-pura kalau aku tak pernah mengiyakan perpisahan yang kau minta, dulu. Kau bisa pura-pura anggap aku masih penting buatmu. Kau bisa pura-pura masih mencintaiku,” katamu, menghubungi perempuan yang kini entah itu pada suatu sore selepas perpisahan kalian.
“Itu cuma akan menambah-nambah kesedihan. Aku tak bakal melakukannya,” ia membalasnya.
“Hal yang paling menyedihkan bukan karena kau harus pura-pura seolah semuanya masih belum selesai. Sekarang ini, kepura-puraanmu lebih berarti buatku ketimbang aku mesti menyadari kalau kau tak lagi punya perasaan sama sekali,” waktu berhamburan selagi kau menunggu jawabnya. Namun itulah teks terakhir yang kau kirim. Ia tak pernah menanggapi perkataanmu lagi.
Apa artinya mencintai dalam penantian yang sepi tak tertanggungkan, di mana kau menemukan dirimu di tepi jurang kekecewaan? Bahkan kau lebih memilih mendekap harapan yang kian terpupus ketimbang menyelamatkan dirimu sendiri. Apa artinya cinta yang menyeretmu ke dalam jeruji anonimitas dan keterasingan? Apakah kau akan mencintai seseorang dengan cinta yang kecewa laiknya Saut Situmorang kepada perempuan di tengah hujan dan ingatan? Pernahkah kau bertanya apa yang membuatmu memintanya kembali? Pernahkah, pernahkah kau bertanya kepada hening yang melingkupi kamar, apakah kau cuma ingin ia menemanimu dalam eskap dari kesepian yang tak henti-hentinya mengikis seberinda hidupmu?
Lampu yang bulan kemarin baru diganti lebih tajam menyorot tiap-tiap yang tinggal itu; beberapa buku tak kembali ke rak, tumpukan pakaian di kursi, koran, laptop. Semuanya menjelma serupa isyarat yang mengatakan dalam hening ini, bahwa pada saat tertentu, kau seperti benda-benda itu. Memang kesepian menempatkanmu di antara pertunjukan yang tak pernah kaupahami.
Adakah kesepian seperti tangis liris dari kamar Ibu yang pernah hinggap ke kupingmu sewaktu lelaki bajingan yang bahkan tak pernah tahu cara mencintai perempuan meninggalkan duka di rumah kalian? Ataukah serupa rasa lapar yang menyisakan mata basah seorang bocah di persimpangan jalan? Atau mungkin seperti malam-malam yang melingkupi ringkuk tidur seorang homeless lain? Dengan cinta semacam itulah kau masih ingin bersamanya, dengan penderitaan demi penderitaan yang berserak pada tiap tapak jalan. Kau ingin bertukar sepah dengan semuanya itu pada sebuah masa yang begitu syahdu. Kau akan memberi dekap termesra yang tak pernah diberikan siapa-siapa sembari membisikkan puisi Vallejo yang tak pernah tercipta. Kau ingin bertukar tangis paling lirih atau segenap maaf demi hidup, hingga nantinya kalian merasa derana.
Tapi, di manakah ia?
Kau bahkan masih mengharap ia akan kembali dan kembali-meski kenangan telah melipat-lipat waktu menjadi sebelas tahun, yang pada sebuah sore berusaha kau singkap lagi sambil menyambangi tiap tempat yang pernah kalian kunjungi pada hari ketika ia di sini: demi mendengar semburat senja, demi embus angin yang mungkin masih sama seperti yang pernah menerpa kalian berdua, demi dagu yang singgah pada pundakmu, demi lampu-lampu kota, demi merasai kehadirannya.
Sepulang dari perjalanan ingatan itu kau cuma menghabisi detik yang berloncatan dari dinding kamar. Itulah kau duduk, tak henti-hentinya menatapku seolah aku adalah beban terakhir dari segala sebab yang menjadikan kesepian kian tak terpermanai.
“Aku akan pergi,” katamu.
Kemana? Menemuinya? Percuma. Ia memang telah berhenti melupakanmu, sudah jauh waktu kau tak lagi hadir dalam ingatannya. Kau cuma mesti melupakannya juga – meski butuh selipat umur demi melakukannya – dan membiarkan ia bahagia.
“Bukan. Aku tak akan menemuinya. Aku telah berpamitan pada setiap kenangan tentang perempuan itu dan berjanji tak akan mengingatnya lagi. Aku juga pamit padamu,”
Tapi…
Ia kadung menjeratkan tali pada lehernya, berusaha belajar melayang dan itulah ia tengah melupakan seorang perempuan yang kini entah. Tak ada yang bisa kulakukan, sebab aku cuma sebuah diari.
Bandung, 11 Mei 2021
04:09
Angga
コメント