Di balik tembok isolasi, seorang gadis terbujur kaku dengan wajah pucat dan tangan yang dingin. Terlihat dari balik kaca tebal hanyalah tangis dari keluarga yang tak terdengar. Si cantik tak terselamatkan. Dan untuk yang ke sekian kalinya, ya, satu nyawa tak terselamatkan.
Tepat pukul sembilan pagi Sinan menyalakan rokok pertamanya di hari itu. Bersama bapaknya ia duduk berdua di teras rumah sambil merasakan kantuk yang tak tertahankan karena semalaman tak tidur. Ia melamun, seakan tersirat di kepalanya sebuah wangsit yang entah datangnya dari mana. Hingga sampailah di sebuah lorong rumah sakit yang sangat sibuk.
Di ujung lorong, di dekat parkiran, terlihat seorang laki-laki muda sedang berjalan dengan tenangnya di antara hilir mudik para perawat yang berlarian ke sana kemari, karena memang saat itu adalah saat-saat genting. Di mana banyaknya korban berjatuhan akibat terjangkit sebuah penyakit yang sedang mewabah. Covid-19 namanya. Penyakit yang disebabkan infeksi virus Sars Cov2 atau biasa disebut virus Corona.
Lelaki itu adalah Ganda, seorang mahasiswa tingkat dua yang merasa jenuh karena terlalu lama berdiam diri. Memang pada saat itu semua kampus diliburkan sampai waktu yang belum ditentukan bersamaan dengan diberlakukannya Lockdown di seluruh negeri sebagai dampak dari wabah yang semakin menyebar. Dia hendak mendaftarkan diri sebagai tenaga sukarela untuk merawat para pasien yang terjangkit oleh penyakit tersebut. Entah apa yang dia pikirkan. Di saat semua orang mengurung diri di rumah karena takut tertular oleh virus tersebut, ia malah mendatangi tempat yang paling beresiko, dan lebih parahnya dia malah mengajukan diri sebagai tenaga sukarela untuk merawat pasien yang terinfeksi oleh virus yang mudah menular itu.
“Sebelah sini, Kang!” Sahut seorang perawat muda yang sekujur tubuhnya dibalut pakaian serba tertutup dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Haha macam astronot saja,” gumam Ganda di dalam hatinya sambil menertawakan si perawat.
Dia dan Perawat tadi lalu masuk ke sebuah ruangan yang baunya sangat menyengat. Semacam bau pestisida tapi yang ini lebih menyengat lagi, dan memuakkan. Dia lantas duduk di depan sebuah meja kerja sambil menunggu.
“Apa kamu serius? Taruhannya nyawa, loh,” tanya seorang dokter sambil menepuk pundak Ganda dari belakang.
“Kalem, Pak, santai saja,” jawab Ganda dengan tenangnya.
Si dokter hanya tersenyum sambil memberikan sebuah formulir untuk diisi oleh Ganda.
Ganda lantas mengisi formulir tersebut selayaknya orang kebanyakan, dan isi dari formulir itu adalah kontrak yang mempertaruhkan nyawanya. Setelah selesai, ia kemudian diberikan pakaian yang sama seperti pakaian perawat tadi yang ia sebut sebagai “Pakaian Astronot”. Ia langsung mengenakannya. Setelah pakaiannya sudah selesai ia pakai, ia langsung ditugaskan di ruang isolasi bersama si perawat tadi dan mereka berdua lantas menuju ruangan tempat mereka ditugaskan.
Sesampainya di ruangan isolasi, di dalam ia melihat berbagai macam ekspresi yang ditunjukkan pasien yang ia saksikan sendiri dari raut muka para pasien tersebut. Ganda lantas menyimpulkan dengan subjektif bahwa suasana di ruangan tersebut adalah suasana keputusasaan.
Ganda bergumam di dalam hatinya, “Apakah yang sebenarnya mereka rasakan? Mengapa mereka berputus asa? Apakah mereka percaya Tuhan “. Ia langsung menghentikan ocehan di benaknya.
Ganda lantas bekerja dengan si perawat yang ia temui di lorong tadi. Kebetulan mereka ditugaskan bersama di ruang isolasi.
Setelah pekerjaan yang melelahkan di hari pertama selesai, lebih tepatnya telah tiba waktu istirahat, Ganda lantas pergi menuju ke sebuah tangga yang mengarah ke parkiran mobil. Setelah melepas penat kira-kira selama 5 menit, tiba-tiba Ganda melihat si Perawat rekannya tadi lewat di lorong di hadapannya. Ia lantas memanggilnya dan si Perawat itu melihat Ganda lalu menghampiri Ganda. Mereka akhirnya beristirahat bersama sambil mengobrol.
“Tetehnya nama siapa?” tanya Ganda membuka percakapan.
“Hah? Memangnya dari tadi belum kenalan, ya?” jawab si Perawat sambil membalikan pertanyaan.
”Iya, Teh, keasikan kerja mungkin,“ jawab Ganda.
“Oh, ya udah, nama saya Felice. Kalau akangnya?” kata si Perawat memperkenalkan namanya.
“Oh, Felice, ya. Kenalkan nama saya Double,” jawab Ganda.
“Maaf? Double?” tanya si Perawat sambil kebingungan.
“Hehe bukan, Teh, bercanda. Nama saya Ganda. Kan, Ganda bahasa Inggrisnya Double” jawab Ganda sambil mencoba menjelaskan.
”Ouh, Ganda, ya. Halo, Ganda,” jawab si Perawat setelah tercerahkan oleh penjelasan Ganda.
Mereka lantas bercakap-cakap sampai akhirnya mereka harus berpisah karena memang mereka harus pulang ke rumahnya masing-masing.
Keesokan harinya, Ganda kembali bekerja seperti kemarin. Namun pekerjaan hari ini lebih lama dari kemarin karena lebih banyak lagi pasien yang dirawat. Seperti biasa Ganda bekerja bersama Felice. Mereka bekerja dengan ceria tanpa ada sedikit pun rasa takut tertular. Ganda selalu saja menyelipkan candaan-candaan sehingga Felice merasa terhibur. Ganda diam-diam merasakan ada sesuatu yang aneh dari Felice, sesuatu yang pernah Ia rasakan, namun Ia sendiri lupa bagaimana rasanya.
Seiring berjalannya waktu, mereka kian hari kian dekat dan Felice pun tampak nyaman bekerja bersama Ganda. Mereka sering beristirahat bersama setelah pekerjaannya selesai. Dan begitu pula keanehannya kepada Felice semakin membuatnya terus memikirkannya. Ia bahkan berpikiran Felice tertular oleh virus yang dari pasien yang selama ini mereka tangani dan ia merasa khawatir. Sebuah hal yang terhitung baru ia alami semasa hidupnya.
Bayangan itu terus terngiang di kepala. Setiap saat, siang, malam, bahkan ketika bekerja. Dia merasa seakan berada di dekat tank milik Nazi yang siap tempur. Ia merasa gemetar, perasaannya tak karuan, tubuhnya terasa gerah seakan hendak dilindas oleh tank tersebut.
Suatu hari saat Ganda dan Felice hendak mengambil peralatan kebersihan ke ruang petugas, mereka berdua berpapasan dengan seorang pria paruhbaya yang sedang ditahan oleh petugas lain karena menerobos masuk ke dalam rumah sakit yang pada saat itu merupakan zona merah karena banyaknya korban yang terinfeksi virus corona yang sedang merajalela.
Tiba-tiba Felice berkata, “Sampai segitunya si Bapak itu. Keren!”
Ganda hanya tertegun mendengar ucapan Felice.
“Apa maksud perkataan kamu tadi?” Ganda bertanya.
“Bukan apa-apa,” jawab Felice sambil meninggalkan Ganda.
Ganda bergumam di dalam hatinya sambil memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Kenapa Felice berkata seperti setelah melihat si bapak tadi? Kenapa harus keren yang ia katakan? Kenapa bukan kasihan atau semacamnya? Kalimat itu yang terus ia pikirkan.
“Hei, kamu mau melamun disana seharian?” Felice menegur sedikit keras
“Oke oke, tunggu!” Ganda lalu berlari mengejar Felice yang sudah berjalan meninggalkannya.
Keesokan harinya terjadi hal yang tidak diharapkan di ruangan isolasi tempat Ganda dan Felice bekerja. Seorang wanita paruhbaya yang baru masuk satu hari lalu harus meregang nyawa karena infeksinya sudah terlalu parah dan menyebabkan pneumonia sehingga terjadi penutupan organ tubuh karena kekurangan oksigen. Diperparah dengan penyakit diabetes yang diidapnya sehingga terjadi komplikasi dan malaikat maut hari itu menunjukkan bahwa ia tidak pernah gagal dalam menjalankan tugasnya.
“Kamu kemana aja tadi?” Felice bertanya pada Ganda.
“Aku mules, jadi ke toilet dulu tadi,” jawab Ganda.
“Dasar,“ jawab Felice sedikit kesal.
“Kamu tau gak siapa keluarga si Ibu yang meninggal tadi?” tanya felice.
“Mana aku tau, aku kan di toilet tadi” jawab Ganda.
“Bapak-bapak yang kemarin kita ketemu di lorong, yang lagi ditahan sama petugas,“ Felice menjawab pertanyaan nya sendiri.
“Oh, si bapak yang nerobos itu ya?” Ganda memperjelas.
“Iya, bener,” jawab Felice.
Ganda langsung tertegun mendengar jawaban Felice karena teringat perkataannya kemarin. Felice menyentil pelindung wajah Ganda dan Ganda pun terkejut sedikit kesal pada Felice.
“Kenapa sih harus nyentil-nyentil segala?”
Felice hanya terdiam, mungkin sambil tersenyum, tapi tidak terlihat karena memang wajah mereka tertutup rapat.
Felice mengajak Ganda untuk bersantai di dekat tangga tempat mereka biasanya beristirahat bersama.
“Gan, kamu tau gak? Aku awalnya takut buat daftarin diri jadi tenaga sukarela di sini,” tanya Felice.
“Tau lah, semua orang juga bakalan takut ketularan kali,” jawab Ganda dengan santai.
“Aku kangen sama keluarga, temen-temen soalnya semenjak aku disini aku gak bisa ketemu mereka. Soalnya aku takut bawa virus ke mereka” tutur Felice.
”Oh gitu ya. Aku juga sama kalo rasa kangen mah ada. Cuma buat keluarga doang sih,” sambung Ganda.
“Kenapa? Emang kamu gak kangen sama temen-temen kamu? Pacar kamu?” Felice bertanya sedikit keheranan.
“Gak, biasa aja sama temen mah,” ujar Ganda.
“Kalo pacar? “ Felice kembali bertanya.
“Pacar dari mana, pacaran juga gak tau rasanya gimana,” jawab Ganda sambil menghela napas.
“Hah? Masa iya, Gan?” Felice keheranan.
Ganda lalu teringat Ghesa. Kakak tingkatnya di kampus yang dulu sempat membuat Ganda jatuh hati. Namun Ganda ditinggalkannya sebelum sempat ia mengungkapkan rasa sukanya kepada Ghesa. Kasihan sekali...
Hari-hari selanjutnya, Ganda ditugaskan di ruangan yang berbeda dengan Felice. Mereka tidak bekerja bersama lagi. Ganda dipindahtugaskan ke ruangan lain, sedangkan Felice masih tetap di ruangan isolasi. Mereka jarang berbincang di tempat mereka beristirahat seperti dahulu karena memang selisih jam kerja mereka yang berbeda jauh. Hingga suatu hari, ada seorang pasien baru. Seorang wanita muda yang mengalami gejala sesak nafas dan langsung dilarikan ke ruang gawat darurat untuk diberikan penanganan segera. Felice ikut menangani pasien tersebut. Ganda lantas bergegas ke ruang gawat darurat untuk mencatat identitas pasien tersebut karena memang saat itu ganda ditugaskan di bagian administrasi. Mendata pasien yang terinfeksi oleh virus corona yang dirawat di rumah sakit tempat dia bekerja.
Wajah pasien baru itu tidak asing bagi Ganda, karena tenyata bukan orang baru bagi Ganda. Ternyata itu adalah Ghesa, teman satu kampus Ganda yang dulu Ganda pernah suka padanya. Ganda mengenali Ghesa, namun Ghesa tidak mengenali Ganda. Memang masuk akal, karena saat itu memang saat-saat genting dan semua orang sedang tegang-tegangnya. Ditambah lagi wajah Ganda yang tertutup rapat mana mungkin bisa dikenali secara sekilas saja.
Hari-hari berikutnya, Ganda masih bekerja di bagian administrasi. Namun, kini perhatiannya teralihkan kepada Ghesa yang masih dirawat di ruang ICU. Karena terus teringat pada Ghesa, akhirnya ia meminta bertukar posisi dengan Dodi, yang juga merupakan rekan Ganda saat masih ditempatkan di ruangan isolasi bersama Felice dan kebetulan, Dodi merasa tidak betah bekerja di ruang ICU. Akhirnya mereka sepakat untuk bertukar posisi. Ganda di ruang ICU, dan Dodi di bagian administrasi.
Ganda kembali bekerja seperti biasanya, ,merawat pasien yang dirawat di ruang ICU. Felice sering kali melihat Ganda bekerja. Namun, ia menilai Ganda bekerja tidak seperti biasanya. Memang benar. Ganda terlalu berlebihan memperlakukan pasien baru tersebut, karena memang pasien tersebut adalah Ghesa, dan ternyata masih menyimpan perasaannya pada Ghesa. Maklum saja, Ghesa meninggalkan Ganda sebelum sempat Ganda menyampaikan rasa sukanya kepada Ghesa. Mungkin Ganda ingin membuktikan kepada Ghesa. Entahlah...
Suatu saat di saat Ganda sedang beristirahat, tiba-tiba Felice mengur Ganda.
“Woy, kok sekarang jadi beda nih?” ujar Felice.
“Beda apanya ? biasa aja perasaan,” jawab Ganda.
“Perhatian banget sama pasien baru itu” ucap Felice sambil menyindir.
“Oh itu ya. Dia itu Ghesa temen kampus aku,” Ganda menjelaskan sambil terbata-bata.
“Wah masa? Kok bisa,“ Felice sedikit keheranan.
“Ya, mana aku tau,” Ganda menjawab.
Ternyata rasa cemburu sudah menjangkiti Felice semenjak Felice sadar bahwa perhatian Ganda terlalu berlebihan kepada pasien baru tersebut yang tak lain ada Ghesa. Diam-diam, ternyata Felice menaruh rasa suka kepada Ganda.
“Kamu bisa bedain gak sih , kapan harus profesional kapan harus bawa urusan pribadi?” ujar Felice dengan nada agak keras.
“Emang menurut kamu aku gak profesional?” jawab Ganda karena keheranan dengan perkataan Felice. “Kamu kenapa tiba-tiba ngomong gitu? Kamu gak suka aku deket sama Ghesa? Kamu gak usah ngatur aku kalo gak suka ya udah, bye!” ujar Ganda dengan nada kesal.
“Terserah!” jawab Felice sambil pergi dengan perasaan kesal bercampur sedih.
Setelah percekcokan itu, hubungan mereka berdua menjadi kurang baik. Mereka tak lagi saling bertegur sapa. Tak ada lagi obrolan-obrolan berdua di waktu istirahat. Interaksi mereka terhenti seketika, dan mereka tidak saling mengetahui kabar satu sama lain.
Hari-hari berlalu tanpa diwarnai candaan-candaan Ganda dan Felice. Di suatu siang, Ganda sedang berada di ruangan tempat Ghesa dirawat. Ganda menghampiri tempat tidur Ghesa.
“Halo Ghes, udah mendingan?” tanya Ganda kepada Ghesa.
“Lumayan pak, Cuma agak sakit tenggorokannya” jawab Ghesa.
“Syukur kalau begitu,” sambung Ganda.
“Kok suaranya kayak kenal?” Ghesa bertanya.
Hingga Ganda menceritakan kembali saat-saat ia masih mengejar-ngejar Ghesa.
“Dulu aku ngejar-ngejar kamu, pas semester kemarin. Tapi kamu malah ngilang dan ninggalin aku karena waktu itu kamu bilang kalau aku ini orang aneh” tutur Ganda.
Ghesa hanya terdiam. Melamun karena tidak menyangka bahwa itu adalah Ganda.
“Gan, kamu ngapain di sini? Bahaya, Gan. Apa kamu gak takut....”
Belum selesai Ghesa berbicara, Ganda langsung memotong perkataannya.
“Mati? Gak apa-apa, Ghes. Kalaupun aku harus mati sekarang, setidaknya aku udah berguna buat orang lain gak kayak dulu,” ujar Ganda.
Ghesa hanya bisa terdiam sambil menangis karena tidak menyangkau kalau orang yang dulu dia sakiti adalah orang yang selama ini merawat dia. Dan orang yang dia anggap orang aneh ternyata mempunyai hati yang baik.
Ghesa tiba-tiba berkata kepada Ganda.
“Gan, aku dulu ninggalin kamu, trus bilang kamu orang aneh di depan temen-temen. Aku udah malu-maluin kamu,” tuturna sambil menangis.
“Ghes, gak apa-apa. Aku gak dendam sama kamu. Aku udah maafin kamu dari dulu. Aku cuma mau kasih tau kamu satu hal,” jawab Ganda.
“Apa itu, Gan?” tanya Ghesa.
“Aku suka sama kamu dari dulu. Tapi, aku baru bisa bilang sekarang, disaat yang seperti ini,” ujar Ganda dengan hati yang berdebar-debar.
“Tapi, apa yang kamu harapin dari aku yang sekarang? Aku udah sakit gini. Aku juga gak tau bisa sembuh atau enggak,” Sambung Ghesa.
”Gak apa-apa, Ghes. Aku selalu berdoa yang terbaik buat semua orang. Aku percaya kalau keputusan Tuhan adalah yang paling baik,” ucap Ganda mencoba menguatkan Ghesa.
Ghesa lantas memegang tangan Ganda.
“Makasih ya, Gan,” ucap Ghesa sambil memegang tangan Ganda.
Ganda pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Di balik semua percakapan itu, ternyata Felice selalu memperhatikan percakapan mereka berdua, dan di saat Felice melihat Ganda membelai rambut Ghesa, Felice sadar bahwa perasaan Ganda pada Ghesa amatlah dalam sehingga dia tidak bisa melepaskannya, bahkan di saat seperti ini. Demikian pula perasaannya kepada Ganda. Selama ini ia pendam perasaannya karena tak ingin perasaannya malah merenggangkan hubungan naik mereka. Namun ternyata itu adalah pilihan yang salah, karena kejujuran memang diperlukan.
Keesokan harinya, Felice tiba-tiba menelepon Ganda. Setelah lamanya mereka tak berinteraksi, tiba-tiba Felice menghubungi Ganda dan menyuruh Ganda ke ruang ICU. Tanpa pikir panjang, ganda langsung bergegas karena ada firasat buruk. Ia menyangka ada yang tidak beres yang terjadi di sana, sampai Felice yang saat itu sedang tidak saling berhubungan dengannya pun tiba-tiba menghubunginya.
Setelah pikiran-pikiran di kepala Ganda berputar dengan hebatnya, tibalah Ganda di ruangan ICU. Ternyata benar, satu lagi pasien yang tak terselamatkan. Pikiran Ganda langsung tertuju pada Ghesa, namun ia berusaha berpikir positif dan menyingkirkan pikiran-pikiran buruk tentang Ghesa. Tetapi, apa hendak dikata, ternyata prasangka liarnya benar. Ghesa sudah terbujur kaku, sambil menggenggam sepucuk surat. Sontak saja Ganda menangis tak tertahankan, tetapi ia mencoba untuk tetap tegar karena masih ada tugas yang harus dia kerjakan. Baru saja ia menceritakan perasaannya kepada Ghesa, malaikat maut langsung menjemputnya hanya berselang satu malam. Ganda merasa seluruh tulang di tubuhnya menghilang seketika, dadanya seakan berisi 10 ton TNT yang meledak berurutan. Felice berusaha menenangkan Ganda. Bagaimanapun, ia tak mau melihat orang yang ia sukai bersedih.
Setelah perasaan suasana haru yang berhasil menguasai ruangan saat itu, diuruslah jenazah Ghesa agar bisa dimakamkan dengan segera. Ganda lantas pergi ke tangga tempat ia biasanya beristirahat bersama Felice. Ia duduk sendiri, sambil merasakan luapan emosi yang bergejolak di hatinya. Perasaan sedih, senang, kehilangan, penyesalan, kekesalan, semua bersarang di dalam hatinya. Ingin rasanya ia mengantarkan Ghesa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Namun apa hendak dibuat, ia tak sanggup melihat Ghesa ditelan oleh tanah dan ia tak ingin larut dalam kesedihan yang terlalu mendalam. Hingga datanglah Felice menghampirinya dengan membawa surat yang ditulis oleh Ghesa sesaat sebelum kematiannya. Felice memberikannya kepada Ganda, lantas Ganda membukanya dan membaca isi dari surat itu.
Dan isi surat itu berbunyi:
Dear Ganda,
Sekali lagi aku ucapkan maaf yang sebesar-besarnya
Dan juga terima kasih
Karena kamu telah rela menjaga perasaan kamu selama ini
Kamu buktikan perasaan itu, sebelum kamu mengatakannya
Kalau memang umurku masih panjang
Aku mau hidup lebih lama lagi
Aku mau menebus kesalahan aku karena aku sudah memandang rendah kamu
Aku mau melihat kamu berlari lagi
Bukan untuk mengejar aku
Tapi kali ini kita berlari bersama
Mengejar masa depan dan berpijak kepada kasih sayang Tuhan
Tapi, kalau ternyata umurku hanya sampai di sini
Aku mau kamu jangan menyia-nyiakan orang yang tulus menyayangi kamu
Jangan seperti dulu aku menyia-nyiakan kamu
Pertanda,
GHESA
Setelah membaca surat dari Ghesa, Ganda langsung memeluk Felice dan meminta maaf karena telah mengacuhkan Felice dan tidak menghargai perasaannya.
“Fel, maafin aku . Selama ini aku memendam perasaan sama kamu, tapi aku gak menghargai perasaan tersebut. Aku hanya menyia-nyiakannya. Aku lebih mementingkan Ghesa. Aku berharap bisa mendapat balasan atas perasaan aku dari Ghesa. Tapi ternyata Tuhan punya rencana lain. Tuhan malah memisahkan aku dari Ghesa buat selama-lamanya. Maafin aku ya Fel,” ucap Ganda sambil tak kuasa menahan kesedihannya.
“Gak apa-apa, Gan, aku juga ngerti. Kamu gak menyia-nyiakan perasaan kamu. Cuma waktunya aja belum tepat buat kamu menyadarinya. Mungkin ini waktunya. Tuhan udah baik sama kamu. Tuhan kasih kamu kesempatan buat menyatakan perasaan kamu ke Ghesa karena Tuhan tau, umur Ghesa gak lama lagi. Tuhan kasih kamu kesempatan indah. Tuhan mengizinkan kamu buat membuktikan perasaan kamu itu. Sehingga balasan dari Ghesa membuat kamu senang walaupun Tuhan menjemput Ghesa untuk pulang setelahnya. Perasaan kamu ke aku, sama seperti perasaan aku ke kamu,” Felice mengutarakan perasaannya, sambil menguatkan Ganda.
Ternyata sebuah wabah tidaklah selamanya menjadi bencana. Selalu ada saja hikmah dibaliknya, karena sesungguhnya ini adalah skenario dari Tuhan. Dan Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba-hambaNya dalam suatu musibah tanpa adanya kasih sayang dari-Nya.
Begitu pun Sinan. Sudah dihabiskannya batang rokok yang ke 3. Kopi di cangkir pun sudah mendingin. Bapaknya pun sudah selesai makan, dan sudah berangkat ke tempat kerja. Ia tersadarkan dan paham apa arti rasa kasih sayang yang sebenarnya. Bahwa kasih sayang itu sejatinya adalah milik Dia yang maha pengasih dan maha penyayang. Dia mengajarkan dengan sebaik-baiknya pengajaran. Dia melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya di setiap segi kehidupan. Bahkan dengan jalan menggunakan cara pada situasi yang tidak terduga.
Setelah pulang dari dunia khayalannya, Sinan pun beranjak dari tempat duduknya. Kemudian menyalakan Vespa tuanya. Lantas ia beranjak ke kampus karena ia hampir terlambat mengikuti perkuliahan.
Ikhlas Imanulloh
Lahir di Subang, 14 Februari 2001. Saat ini aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pasundan. Temui ia di @magrippalfcostertivmfecit.
Comments