Bandung, Musim Penghujan
Kina, dengan cara apa kamu akan membayangkan di mana kini aku tinggal?
Sekeliling adalah tembok dingin, sementara satu-satunya jendela mengarah ke lautan biru yang indah. Di satu sisinya penuh dengan bingkai-bingkai memoar yang tampak sengaja disusun oleh seseorang. Sementara di atas nakas adalah fragmen tentang masa kini.
Kala sore di tepian pulau seberang yang masih tertangkap pandang, aku bisa melihat camar terbang rendah namun bebas, berkejaran dengan ombak yang tak lelahnya menghantam karang. Dan kalau beruntung, aku menyaksikan bagaimana metari menyedot satu atau dua kapal tongkang.
Aku kira, Kina, ruangan ini berada di teluk yang sama yang dijadikan Gabo sebagai latar kediaman Juvenal Arbino dan Fermina Daza dalam cerita Cinta Sepanjang Derita Kolera itu. Suasananya terasa serap mesra namun kosong. Semuanya semu.
Hidangan mereka serupa sajak Subagio yang telah direduksi sedemikian rupa menjadi sebuah ayat-ayat bernada tunggal; yakni keputusasaan. Dan aku dipaksa menikmatinya.
Segala sesuatunya tampak seperti pukul sebelas pagi ketika aku baru saja terbangun usai bepergian ke alam yang tak mengenal sadar itu. Masa lampau nyalar menungguiku serupa teleskrin yang diciptakan Partai Ingsoc, mereka bersiap menyingkap kesadaran akan keberadaanku semula, yang terkini dan di sini; kenyataan yang kacau. Suram. Brutal. Menyedihkan.
Pada lanskap itulah aku tinggal.
Tanpa kamu.
Benar-benar sendirian.
Blok pengasingan bagi para terpidana mati.
Sejak hari pertama, bingkisan-bingkisan memoar masa kecil telah dikirimkan dari nun jauh yang tak akan lagi terulang, serupa hadiah ulang tahun ketujuh yang bertumpukan tak teratur di penjuru paling sunyi dalam diriku. Kenangan-kenangan itu, Kina, tak hadir dengan sendirinya seperti yang dikatakan orang, tapi ia menyeruak beriringan jiwa yang akan segera tiada.
Kenyataan bahwa segala sesuatunya hampir berakhir membawa kita kepada yang lampau. Dan itulah yang diingankan kehidupan dari kita; membikin kematian seolah menyedihkan, suram, dan penuh duka. Sehingga apa yang kita jejalkan pada pembicaraan tentangnya adalah apa-apa yang hilang.
Kina, kau harus tahu, aku akan menunaikan janjiku mencintaimu sampai detik paling akhir. Aku memang tak fasih membicarakan cinta seperti Pablo Neruda menuliskan puisi-puisi pada kekasihnya di Isla Negra, atau seperti Marius menyatakan cintanya pada Cossete di tengah Revolusi Perancis dalam kisah Les Misérables. Yang aku tahu, aku hanya harus mencintaimu, Kina.
Aku menulis untuk memberitahumu, untuk mengatakan apa yang tak sempat terucap jika segala sesuatunya masih. Ku kira, Azarel akan segera tiba dari perjalanannya, mungkin dua atau tiga hari lagi. Tapi, kalaupun ia datang lebih cepat, aku berharap ia mau menungguku merampungkan surat ini.
Sebelum luput, juga waktu, aku ingin menyampaikan salam yang dititipkan seekor kucing untukmu. Maaf baru menyampaikannya, kau pun tahu aku terlalu cemburu untuk mengatakannya.
Aku selalu cemburu, Kina, pada segala hal yang begitu lekat denganmu: ponsel, udara pagi, selimut A.C Milan, dan sebuah foto yang diselipkan di buku harianmu. Foto kamu dan seorang lelaki sedang beradu cium. Kalian tampak mesra. Begitu mesra, seperti mata pisau yang menyentuh lehermu malam itu. Kau harus tahu bahkan aku cemburu terhadapnya.
Tapi aku harus melakukannya, kan? Aku harus menunjukan padamu cara mencintai kematian agar kamu memahami keberadaan, setidaknya begitu yang dituliskan Muhammad Damm dalam kitab kematian yang kubawa tiap kemana-mana.
Aku masih ingat suatu sore yang suam di teras Indomaret kamu pernah bertanya mengapa aku menghasrati kematian. Benar, Kina, membicarakan ketiadaan adalah suatu cara memahami keberadaan.
Dan, apakah sebuah foto di buku harianmu itu adalah pernyataan bahwa aku tak pernah benar-benar ada untukmu?
Bukan, aku tak membencimu, Kina. Bukan begitu. Satu-satunya hal yang mesti kulakukan terhadap seseorang yang kucintai adalah mencintainya. Dan dengan cara itulah aku menunjukkan cintaku. Tenang, kebahagiaanmu tanggung jawabku. Aku akan tetap ada di sampingmu. Aku akan menyusul setelah memberitahukan kepada orang tua kita bahwa kita mati bahagia.
Ah, ya, tetangga kos sialan yang hendak mengembalikan mangkuk bekas soto malam kemarin tetiba menjerit di ambang pintu yang sengaja ku bukakan itu. Aku jijik bau amis darahmu. Tapi tetangga kita lebih menyebalkan, kan? Maka kulayangkan pisau yang masih hangat darahmu itu ke arahnya. Ia menancap mantap di perut kirinya. Kemudian aku melanjutkan menyusun memoar kita.
Dan, ya, di sinilah aku berakhir.
Tanpa kamu.
Benar-benar sendirian.
Blok pengasingan bagi para terpidana mati.
Tapi aku sebentar lagi menyusulmu.
Tunggu, ya, Kina.
Dengan penuh kasih,
A
Comments