Risalah singkat tentang cerpen "But Not Forgotten, Alinea" karangan Faisal Oddang.
Adakalanya ingatan mengantarkan kita pada sebuah melankolia; sesekali membawa kembali getir udara di malam terakhir bersama kekasih; atau kadang menempatkan manusia pada kursi tribunal di mana pengadilan masa silam yang begitu melukai tengah digelar. Tapi lebih dari itu, ingatan adalah apa yang berarti dari masa dulu; yang bisa dimiliki hari ini setelah kita melalui terjal waktu.
Kira-kira, begitulah premis yang ditampilkan Faisal Oddang dalam cerpen But Not Forgotten, Alinea. Aku percaya, si narator tak akan meminum air dari sungai Lethe di batas Elisian untuk melupakan rasa sakit atas kepergian kekasih atau penyesalan yang dialami dalam kehidupan. Entah demi menggapai kerelaan paripurna pada segala peristiwa atau kehilangan, atau mungkin hanya dengan-tidak-melupakanlah ia masih terus bisa mencintai sosok kekasihnya.
Apa yang dilakukan Faisal persis seperti Morgue Vanguard dan Doyz kala menamai track Demi Masa mereka. Tak sedikit dari kita yang mendaratkan imaji pada sebuah firman ilahiah dalam Quran, Al-Asr. Atau manakala Hasan Aspahani memberi judul sehimpun puisinya Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering. Hasan secara terang-terangan mengaku menyitirnya dari kalimat terakhir hadis ke-19 yang dihimpun Imam An-Nawawi. Atau ketika Saut mengambil tajuk Perahu Mabuk untuk sekumpulan sajak cintanya yang merupakan alih bahasa dari Le Bateau ivre ciptaan Rimbaud. Tapi Faisal, termasuk nama-nama tersebut, tak lantas mengasosiasikan karyanya dengan apa yang mereka “curi”. Terlalu banyak kemungkinan. Entah untuk mengatakan bahwa “karya ini terinspirasi atau didasarkan pada karya itu”, mengapropriasinya, atau juga minta dilihat bersandingan dengan hipogramnya.
Pengambilan tajuk puisi Dorothy Parker kupikir bukan tanpa alasan dan lebih dari sebuah sikap kerendahan hati bahwa Faisal terinspirasi dari Dorothy. But Not Forgotten-nya Dorothy Parker, cukup jelas untuk disadari sebagai sebuah bereavement poem, sebuah elegi tentang kehilangan dalam arti universal; mungkin kehilangan sebab berpisah dengan sosok nenek yang dijemput waktu, atau mungkin ditinggalkan kekasih, atau mungkin anjing kesayangan. Keduanya – puisi Dorothy dan cerpen Faisal – sama-sama menampilkan perpisahan, sama-sama mencoba merekam kenangan, dan sama-sama menjaga yang nyaris hilang dirangum tabiat waktu.
Melalui penceritaan orang-pertama, Faisal membagi cerpen itu jadi delapan adegan; delapan kilas balik peristiwa dengan tempo yang ekspres cenderung buru-buru. Mula-mula ia memperlihatkan sebuah gambar arsitektur kekuasaan tentang perjodohan. Alinea diminta menikahi lelaki pilihan keluarganya; dan meninggalkan; dan melupakan si narator yang telah menjadi kekasihnya selama lima tahun. Hegemoni peran orang tua dalam perkawinan anak perempuan tersebut pada akhirnya justru menghadirkan persoalan baru: Alinea mengajak aku-tokoh melarikan diri – with an eternal wish to be together, tentu – dan mungkin sembari membayangkan hari nan indah setelahnya. Namun dalam pelarian tersebut mereka mengalami kecelakaan.
Pascakejadian itu Alinea kehilangan ingatan. Maka tak ada waktu untuk merayakan cinta. Jika mereka memang membayangkannya, maka saat itu tak ada lagi angan untuk membangun sebuah rumah di tepi hutan. Maka tak ada kebun. Maka tak ada tiap-hari-bercinta. Maka tak ada sore yang dihabisi sambil memandangi lengkung langit jingga sebelum malam jadi penuh, juga seraya bergantian membaca puisi cinta Victor Hugo. Sebab, masing-masing dari mereka berakhir di rumah sakit. Alinea sebagai pasien, aku-tokoh mendaftar sebagai tukang-pel-lantai manakala tahu kekasihnya rutin berobat di sana. Pada saat-saat tertentu, ia akan menyusup ke ruangan seorang dokter di mana Alinea dapat ditemuinya.
Aku menduga-duga, sebelum menjalani pelariannya dengan sang kekasih, Alinea menulis ulang semua puisi Dorothy Parker dan menyalin sebuah catatan kecil dari film The Notebook, “Read this to me, and I’ll back to you”. Atau mungkin dugaan itu keliru. Mungkin tak ada jalan lain bagi kekasihnya untuk mencintai Alinea selain membacakan puisi. Dan yang tak kalah mungkinnya, semua yang dikisahkan si narator dalam cerpen tersebut hanyalah bualan seseorang yang kesepian belaka.
Sebab tiap kali puisi-puisi tersebut dibacakan, Alinea tetap saja hanya memandangnya seperti menatap lorong gelap. Tak berbeda kala tokoh aku – dalam nada retrospeksi yang pesimistik – meleter tentang kenangan yang pernah sama-sama mereka sulam, atau semata mengajaknya bermain tebak judul puisi. Semua sia-sia. Aku-tokoh tetaplah sesosok tubuh tanpa nama, tanpa masa lalu bagi Alinea.
Lantas hari bersalin. Tapi tak ada tanda apa-apa. Alinea masih melupakan tokoh aku. Hingga suatu kali Alinea histeris, dokter memergoki mereka dan memintanya untuk tak mengganggu pasien. Ia hanya bisa mengangguk. Namun ia tak bisa mengangguk untuk sebuah hal: manakala diminta merelakan Alinea di sorga. Barulah segala sesuatunya tersibak. Ada yang Faisal sembunyikan dan sengaja disimpan untuk penghabisan: si narator tak lebih dari seorang pasien rumah sakit jiwa. Sementara seseorang yang selama ini melupakan kenangan mereka hanya pasien lain. Alinea yang sebenarnya telah lama dan telah selamanya meninggalkan aku-tokoh.
***
Sekilas, cerpen yang terhimpun dalam buku Dua Alasan Untuk Tidak Jatuh Cinta (Gramedia, 2019) tersebut tak lebih dari sebuah cakap klise yang acap kali ditemui dalam cerita-cerita lain. Lihat saja bagaimana Noah Calhoun dalam sinema The Notebook membacakan sebuah kisah demi ingatan Alli kembali. Namun, betapa pun memualkan, Faisal menyodorkan sebuah gaya liris nan indah dalam menulis prosa.
Dengan cara yang putus asa, aku-tokoh melakukan tamasya ke masa lalu. Melewati… tempat kenangan dan nostalgia, ingatan dan trauma berjejal, berlarian, berkejaran. Tragedi dan paranoia, komedi serta kisah cinta, amnesia, insomnia, juga romansa[1]. Tapi bukan karena tak ada lagi jalan, melainkan sebab ia terlanjur datang ke masa kini – membawa segala sesal. Dan, satu-satunya yang bisa ia selamatkan hanyalah sebuah album tentang waktu yang silam, seperti solilokui yang dirapalkannya pada kalimat mukadimah cerpen tersebut, “Tak ada yang benar-benar bisa diselamatkan dari masa lalu selain ingatan”.
Aku percaya ia tak akan tak akan meminum air dari sungai Lethe yang membatasi Elisian di Khthonik untuk melupakan rasa sakit atas kepergian kekasih atau penyesalan yang dialaminya dalam kehidupan. Sebab ingatan – betapa pun mengantarkannya pada sebuah melankolia, atau membuatnya kembali merasakan getir udara malam terakhir bersama Alinea, atau menempatkannya pada kursi tribunal di mana pengadilan masa silam yang begitu melukai tengah digelar – adalah apa yang berarti dari masa dulu; yang bisa ia miliki hari ini setelah melalui terjal waktu.
Meski aku menduga-duga, bila kehilangan – seperti rasa sakit lainnya atas keberadaan manusia di dunia – adalah hadiah yang diberikan hidup, ia tentu akan menolak pemberian tersebut. Aku membayangkan, bila aku-tokoh diberi kesempatan mengulang pilihan, mungkin ia akan bersikeras agar Alinea menikahi lelaki lain ketimbang meninggalkannya untuk pergi ke Negeri Arwah. Keduanya memang sama-sama menyisakan perasaan kehilangan, dan tentu sama-sama menyakitkan, tapi paling tidak ia masih berada di dunia yang sama tempat sosok kekasihnya hidup.
Sebab, bila yang tersisa dari cinta hanya ingatan, tak ada cara lain eksepsi tetap menghidupinya.
Bandung, 19 Januari 2022
Angga
[1] Kalimat tersebut diambil dari puisi Namun karya Zaim Rofiki. Termuat dalam majalah Tempo edisi 2 Februari 2014.
Comments