“Ingatan tidak hanya tinggal dalam tubuh/ ia tumbuh pada siut angin, kumuh udara/ pada semua yang ada juga tiada.” – Faisal Oddang, Rencana Pembunuhan, dari buku Perkabungan untuk Cinta (Basabasi, 2017).
Yang segera merebut perhatian saya sewaktu pertama kali membaca sajak-sajak Faisal Oddang dalam buku Perkabungan untuk Cinta (Basabasi, 2017) adalah masa lalu. Ada semacam obsesi terhadap masa lalu, yang dengan beragam cara, dihadirkan secara intens dan sesekali kontradiktif; dikenang sekaligus digugat; dirayakan sekaligus terus dipertanyakan. Saya mungkin kurang cermat dalam memahami puisi – sehubungan itu saya lebih memilih membahasnya sebagai catatan lepas-sehabis membaca semata – tapi percayalah, nuansa tersebut bermekaran nyaris pada setiap lembarnya.
Sengaja atau pun tidak, halimun kesedihan yang melingkupinya mungkin menengarai bahwa selalu ada pihak yang terpaksa menanggung kenangan; dari yang traumatik hingga momen indah namun terlalu menyakitkan untuk diingat. Kita mengalami cinta, mengalami perpisahan, mengalami kesedihan dengan berbagai rangkaiannya, sebelum akhirnya dilupakan.
Orang-orang, termasuk mantan kekasih yang pernah saling bertukar cinta, melupakan kita – dalam arti antonimi dari tidak-mengingat – dan melanjutkan hidup seolah tak terjadi apa-apa. Atau meminjam larik sajak penyair Amerika-Vietnam, Ocean Vuong, “Everyone can forget us – as long as you remember”. Tragis bukan? Beberapa dari 53 tajuk puisi dalam buku ini berbicara di sekitar hal-hal tersebut. Simaklah senarai penggalan-penggalan berikut: punggung yang saling berhadapan pada perjumpaan terakhir, hari tua tanpa cinta, waktu dan jarak yang mengubah banyak hal, penantian yang tak pernah selesai, bertahun silam sebelum mengenal rindu, dering ponsel yang terus ditunggu, atau apa yang pantas dikenang dari perpisahan.
Sebagaimana adanya, yang tersisa dari masa lalu hanyalah kenangan dan tak ada yang bisa dilakukan selain merayakannya. Mungkin sebab itulah, dengan alasan tertentu, beberapa orang memilih untuk tetap menjaga ingatannya meski sesekali menahan sesak di dada sambil menyeka air mata. Pada buku ini Faisal melihat dan mencatat persoalan tersebut misalnya dalam tajuk Ingatan Musim Gugur. Ia menulis,
selagi kau sendiri, bisakah sejenak / saja kau mengenang semua orang / yang pernah hidup dalam dirimu / sejenak kau ingat nama-nama yang / telah mati tak kau kuburkan, / bisakah?
Silang kelindan antara yang terkini dan “sesuatu” yang telah silam itu secara konsisten dirangkai Faisal. Ia memang tak membicarakan persoalan tentang waktu dalam skala yang besar, akan tetapi menyulamnya kepada hal-hal yang bersifat individual. Umpamanya, tengoklah tajuk "Reuni Sekolah Menengah Atas":
kau telah tumbuh menjadi dirimu yang lain. / Waktu mengubah banyak hal. Jarak mengubah banyak hal. / Kau mengubah dirimu atas nama jarak dan waktu.
Faisal merekam perkabungannya dengan komposisi semacam itu – yang sederhana. Ia tak menampilkan diksi nan luks a la bahasa langitan. Entah apa yang mendasarinya, tapi operasi teks yang demikian justru menghadirkan sebuah kesan kejujuran. Saya percaya: dalam puisi, patah hati rentan menjadi ungkapan klise. Malahan jika larik-larik yang mengungkapkannya disusun secara sinambung, tanpa penataan tipograf, bisa jadi sesuatu yang dimaksudkan sebagai puisi tersebut tak ada beda dengan pesan teks WhatsApp dari seorang kawan yang lagi curhat sebab putus cinta, misalnya.
Di tengah zaman di mana banyak orang menulis dan menerbitkan puisi patah hati, keluguan seperti itu boleh jadi dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memaksimalkan fungsi estetik bahasa. Terlebih, naifnya masa bersedih – yang barangkali nyaris membuatnya tak sempat mengambil jarak dengan kesedihan itu sendiri kala menuliskannya sebagai puisi – adalah sesuatu yang sukar disangkal. Tapi bagi Faisal, bukan berarti kehadirannya mesti dikubur dalam-dalam. Sebab, itulah dirinya yang dulu; yang menjadi cermin masa kini. Ia mungkin menyadari itu dan sebabnya berani mempertaruhkan puisinya. Pertaruhan tersebut antara lain ditengarai oleh gaya yang tak serta merta menampilkan frustrasi yang ekstensif tipikal curhatan orang patah hati, tetapi dilontarkan secara subtil sembari berupaya merengkuh apa yang kita sebut sebagai kedalaman.
Puisi, bagi penulis buku Manurung: 13 Pertanyaan untuk 3 Nama tersebut adalah pintu awalnya memasuki sebuah dunia bernama sastra. Sejak mula menulis pada 2012 – meski judul-judul dalam buku ini disusun antara 2015-2017 – puisilah yang pertama kali bersentuhan dengannya. Maka tak adil baginya untuk menghapus yang lampau tersebut. Masa lalu mungkin dianggap Faisal menampung dongeng yang tak sempat terbayarkan oleh kenyataan dan boleh jadi menulis puisi adalah sebuah upaya untuk menebusnya. Faisal melihat masa lalu – yang kata dia telah tersusun pada diri setiap orang – dan mencatatnya dari peristiwa satu ke peristiwa lainnya. Sesekali dalam nada retrospektif yang penuh gugatan atau kadang menyerupai lamunan pada ritus khayali di musim sunyi.
Saya menduga, diam-diam Faisal mengatakan: “Jatuh cintalah. Bila suatu kelak hatimu patah, puisi-puisi menunggu untuk ditulis. Tapi pertama, kau mesti menghikmati kenangan masa silam bahkan yang paling sakit sekali pun”.
Tajuk Lelaki di Peron 13, sajak nomor duapuluh lima, barangkali menjelaskan alinea di atas. Simaklah:
Bertahun-tahun yang lalu
Kekasihnya pergi dari peron itu
dia masih sempat melambai
dari jendela setelah berciuman
dan memaksa pelukan mereka lerai
saya akan menunggu
karena kesetiaan ialah
kemenangan melawan
waktu dan sepi penantian
Dia tidak beranjak
meski kereta terakhir telah tiba
dia telah menyaksikan ratusan
kereta terakhir sepanjang tahun.
Matanya menyusuri lengkung
rel yang menjauh dan hilang
ditelan kelokan di Selatan stasiun
tubuh kekasihnya tidak pernah muncul
aroma bacin dan pesing peron
tidak juga berganti aroma parfum
yang ia titipkan sebagai kenang-kenangan
sebelum kekasihnya pergi; kenakanlah
setiap merindukanku,
aroma berperan banyak untuk
mengingatkanmu pada sebuah peristiwa
atau kepada seseorang, pesannya.
Keesokan harinya
kereta pertama telah berangkat
ia masih berdiri di peron nomor 13,
peluit yang terdengar menjerit
menjadi sebuah isyarat untuknya
: penantian tidak akan pernah
selesai sebab waktu diciptakan
untuk membuat orang-orang
menunggu.
______________
Bandung, 11 Maret 2022
Angga Permana Saputra
Comments