: untuk Fio Yussup
Malam adalah padang kenangan yang dilalui seorang pilgrim dalam safarinya menuju timur, tempat di mana pagi terbit atau tiba-tiba saja ia terbangun dari tidur. Di sana ia menemui dan menemukan kembali hamparan peristiwa silam yang semula menyusun dirinya pada keramaian. Namun, kita pun tahu, kenangan akhirnya selalu bersifat privat. Dengan amsal demikian, malam adalah medan waktu paling personal. Mau tak mau manusia mesti menyusurinya sendirian. Sebab, dunia privat adalah nasib milik seorang, dan nasib, kata Chairil, "adalah kesunyian masing-masing".
Mereka yang tengah berada di sekitar duka menganggap malam adalah saat-saat yang paling sunyi-mencekam; sementara orang-orang religius memangkas jam tidurnya untuk mengadu aduh atau sekedar berucap syukur kepada Tuhan; di suatu tempat prostitusi, seorang pekerja seks tak henti melafal alhamdulillah setelah tiga hari tak kunjung mendapatkan pelanggan; pada sebuah bar ada yang sedang merayakan hidup; di kamarnya masing-masing sepasang kekasih bertukar kata atau semata saling mendengar hela napas mereka melalui ponselnya: berharap pagi tak pernah tiba.
Kita tak tahu bagaimana dan dengan cara apa seseorang memaknai malam yang dilewatinya. Tapi pada akhirnya, di tengah peradaban yang serba buru-buru, di mana hidup lebih banyak diselenggarakan dari pagi menjelang senja, malam adalah kesempatan kita untuk bisa leluasa berkaca; untuk melihat diri yang barangkali penuh luka atau sekedar menghitung kebahagiaan yang berhasil dikumpulkan di saku celana.
Secara bersamaan, malam membentangkan sebuah lanskap indah sekaligus kaotis. Entah berapa banyak penyair yang telah mencatatnya sebagai puisi. Dari Chairil yang berjaga sebelum siang menenggelamkannya hilang, atau Sapardi yang berjalan ke barat sementara Tuhan memandangnya penuh curiga, hingga Zaim Rofiqi yang “Tamasya ke masa lalu. Melewati jejalan dan gang-gang sempit berdebu tempat kenangan dan nostalgia, ingatan dan trauma berjejal, berlarian, berkejaran. Tragedi dan paranoia, komedi serta kisah cinta, amnesia, insomnia, juga romansa bercampur, bergumul, membaur,” meski ia sendiri pun tak tahu apa maknanya.
Atau, Penyair Afanasy Fet yang memborong nyaris semua tanda tentang malam: "marshmallow mencium ungu di malam hari", "malam badai mengamuk, atap tertutup salju", "bintang-bintang berdoa, berkelap-kelip dan bersinar, bulan berdoa, mengambang di atas birunya", "bintang-bintang di sekitar tampak berkumpul, tanpa berkedip, lihatlah ke taman ini", "angin sedang tidur", "bulan dengan sinar cepat telah menembus kaca", "bulan dengan tipu daya perak muda dan ombak dan daun", "Malu bulan menatap mata".
Dari senarai pendek di atas, dapat kita simak bagaimana malam sebagai motif puisi digubah penyair menjadi sesuatu yang dominan. Entah berupa sebentuk gagasan, citra yang berulang, atau pola diksi; di mana rangkaian tersebut, akhirnya, tersusun menjadi sebuah tema.
Hal itu juga yang mungkin coba dilakukan Fio Yussup lewat puisinya, “Tadabur Malam”. Membacanya kita akan menjumpai sebuah obsesi laten terhadap malam. Terhitung dari tiga belas barisnya – yang ia serpih jadi lima bait – kata malam disebut sebanyak tujuh kali. Repetisi demikian, jika bukan disebabkan ketidakmampuannya menemukan kata semakna, berarti adalah upaya dia buat menandaskan cintanya yang obsesif kepada malam.
Tapi tunggu. Apakah pola diksi yang hiper-repetitif tersebut membuktikan obsesinya atau justru malah mengingkari apa yang ia bubuhkan sebagai tajuk; Tadabur Malam?
Dalam kerangka sejarah – termasuk sejarah sastra – kita mesti bersepakat dengan Hasan Aspahani: “Kita tak bisa lepas dari empat kemungkinan: menyinambungkan, mengulangi, memperbaharui, atau mengubah sama sekali apa yang sudah ada di masa lalu”. Sayangnya, di masa “yang kini sekali” Fio justru hanya menghadirkan fragmen klise atas sebuah situasi.
Ia hanya mencatat apa yang telah berulang kali ditulis oleh banyak penyair. Dan apa boleh buat, pengulangan yang sekedar pengulangan harus kita abaikan. Simaklah senarai petikan ini: “dingin yang terasa asing dalam peluk”, “malam menampar pipi”, “dersik sayup seperti swarawati”, “bulan tergantung, bintang terkapar”. Semua daftar tersebut hanya menandai permukaan malam. Ia tak menjelajahi luas bentangnya hingga wilayah paling asing itu sendiri.
Saya memang harus mengakui bahwa bentuk sintaksis “dinginnya malam terasa asing dalam peluk” adalah sebuah citra puitik yang luks. Bagaimana ia menghadirkan imaji malam begitu solid. Figur “dingin” dan “malam” bergerak dalam suasana memukau sebab kehadiran imaji “asing dalam peluk”. Yang terjadi, dingin yang menerpakan keasingan itu jadi hidup dalam peluk si subjek lirik.
Tapi selebihnya? Bahkan apa yang direnungkan aku-lirik pun tak tertemukan.
Hal tersebut berbeda ketika misalnya saya membaca strategi puitik Sapardi dalam sajak “Pada Suatu Malam” (1964) sebagai puisi yang menggubah tema serupa. Situasi teks terjalin oleh kehadiran figur Tuhan, minuman keras, lampu-lampu, dan segala penanda malam yang hubungannya dengan aku-lirik terikat oleh figur diri-yang-mencari. Pencarian tersebut begitu sunyi, dan sesekali ia ragu. Akibatnya, hubungan langsung antar figur jadi problematik. Tapi pada saat yang sama, ia membentangkan ruang reflektif bagi si aku-lirik dan juga pembacanya.
Sementara dalam puisi Fio, saya tak diberi (atau tak menemukan) ruang untuk merenung/tadabur itu sendiri. Simak komparasi bait terakhir kedua puisi tersebut.
Di sebuah angkringan aku terdiam
melihat langit malam
mendengar swarawati malam
Kita tahu bahwa semakin pendek sebuah rangkaian sajak, mestinya ia semakin padat makna. Usaha pemendekan tersebut, tentu, kudu dibarengi dengan hadirnya metafora. Akan tetapi, yang terjadi pada puisi Fio adalah pengasingan; bait tersebut seolah terasingkan dari koherensi rangkaian teks puisinya.
Lima puluh tujuh tahun sebelumnya, Sapardi menutup sajak “Pada Suatu Malam” sebagai berikut.
selamat malam. ia mengangguk, entah kepada siapa;
barangkali kepada dirinya sendiri. barangkali hidup adalah doa yang panjang,
dan sunyi adalah minuman keras.
ia merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga;
ia pun bergegas.
barangkali hidup adalah doa yang….
barangkali sunyi adalah….
barangkali tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke barat
Kesadaran puitik Sapardi dalam puisi ini ditandai dengan apa yang kita sebut sebagai refleksi; sebagai pantulan dari benda-benda dan peristiwa dalam semesta teksnya yang ia tulis pada baris-baris awal.
Atau, jika medan bandingannya adalah penggambaran situasi malam. Tengoklah sajak “Grafiti Cemburu”-nya Saut Situmorang (2001). Kita akan melihat bagaimana komposisi ultra-puitik yang menghadirkan lanskap malam. Simak serangkaian baris berikut: “apa yang sedang kau lakukan malam ini?/ malam di kotaku sesak terhimpit/ bau knalpot bau asap rokok/ dan bulan tembaga yang pucat/ berdarah matanya/ tertusuk cakar layang layang/ yang dibiarkan anak anak desa kelaparan di pekat malam.”
Padankan dengan cara Fio memotret malam: “Bulan tergantung pada malam/ bintang terkapar di samping bulan.” Terlalu sederhana. Padahal, mestinya ia mampu mengeksplorasi estetika bahasa.
Syahdan, dari bandingan-bandingan tersebut, saya tak melihat adanya ketegangan yang kehadirannya jadi titik tolak daya reflektif dalam puisi Fio. Bila pun baris “Malam menampar pipiku/ menyadarkan akan bunga mawar” adalah sesuatu yang dimaksudkan demikian, tak ada titian untuk menuju hal tersebut. Sebagai perwujudan apakah “bunga mawar” yang disadari si subjek lirik setelah malam menamparnya? Kita tak tahu. Tak ada penanda.
Memang dari susunan teksnya ia menampilkan kontemplasi si subjek. Tapi, hal tersebut hanya milik aku-lirik. Pembaca tak kebagian untuk merasakan sebab Fio tak menghadirkan pencitraan tentangnya. Akibatnya, kita tak tahu apa yang sebenarnya direnungkan si aku-lirik.
Begitulah saya melihat Fio dalam cakrawala malam pada puisinya. Ia hanya berada di muka pintu, mengetuk malu-malu, sementara penyair terdahulunya telah jauh menjelajahi wilayah estetis yang terbentang pada luas-hitam malam.
Untuk menutup pembicaraan ini. Perkenankan saya mengajukan beberapa patah pertanyaan. Semoga ia menjawabnya lewat sajak-sajak yang kelak akan datang.
Apa yang sebenarnya kau renungkan malam itu, Fio? Mengapa deru kendaraan jadi janggal sementara dingin terasa asing bagi tubuhmu? Apa yang dibisikkan sayupnya malam yang seperti pesinden itu? Apa yang telah dikisahkan botol alkohol dan kepul asap rokok tentang hidup dan rasa yang tertinggal–entah di mana? Mengapa kau hanya terdiam alih-alih bertanya seperti saya mengajukan antologi pertanyaan ini untuk puisimu?
Bandung, 16 April 2022
Angga Saputra
Commentaires