Seperti yang lain, saya paham, menjalani hidup, secara alamiah tak pernah mudah. Kita semua tahu banyak orang mati karena menganggap hidupnya tak layak lagi dijalani. Namun, yang belum pun saya mengerti, bagaimana orang-orang menyusun alasan untuk bersitahan dan berbagi sisi dengan keadaan yang kaotis dan tak terjelaskan ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut mengutang gagasan kepada Albert Camus tentang keyakinan bahwa semua yang saya jalani masih pantas untuk dicintai sampai napas tinggal sehela lagi.
Hidup memang menyedihkan, tapi apa yang bisa dijadikan sangkalannya? Di bawah Matahari, penderitaan adalah bayang yang setia mengintai kita. Dunia ini tersusun dari air mata dan kita memerlukan sesuatu untuk berteduh (sambil sesekali menyeka pipi). Dan mungkin, “sesuatu” tersebut adalah kisah-kisah tentang hidup itu sendiri; penghiburan yang membikin kita bisa tertawa sampai menangis atau menangis sampai tertawa.
Menganggap tragedi hidup tak lebih dari sekedar luka memar usai tersandung di trotoar adalah sesuatu yang patos, menyedihkan, nonsens. Hal tersebut hanyalah sangkalan semu cum fatalistik atas penderitaan yang saban harinya hadir secara simultan. Sebab, saya pikir dan bagi saya, penderitaan justru adalah kunci atas sebuah impuls bernama kesadaran yang kehadirannya tak perlu ditampik dan dikecil-kecilkan. Mungkin, itulah yang ditawarkan Putu Juli kala mengalihbahasakan lima cerpen dari lima sastrawan kenamaan Rusia.
Kesemua cerita yang semula termuat dalam Best Russian Short Stories (The Project Gutenberg Ebook, 2004) tersebut dipilih dan diterjemahkan Juli dalam sebuah judul yang terkesan pesimistik, Sebab Hidup Memang Begini dan Cuma Begini[1]. Di dalamnya berhamburan sedih dan sesekali senang serta segenap perasaan menjelimet lainnya perihal hidup yang tak henti-henti dipertaruhkan.
Semua cerita dalam buku ini mengajak kita untuk menyepakati bahwa hidup melukai semua pihak – dan betapa pun menyediakan sesuatu yang membuat kita tergelak, itu tak lebih dari kelelahan kita untuk mengekspresikan tangis. Tapi di sisi yang lain, semua cerita ini menghadirkan (kembali) alternatif atas kondisi kesadaran eksistensial kita sehubungan dengan enigma yang muskil dipahami, dan adakala sering irasional dari hidup itu sendiri. Semua cerita ini mengantarkan kita pada serangkaian momen, mulai dari yang menguras air mata, yang absurd, hingga jenaka. Semua cerita ini adalah pengingat bagi hidup – yang sungguh pun adalah rentetan kemurungan tanpa ujung, tapi – dengan alasan filosofis atau remeh-temeh semata – terlampau indah untuk lekas-lekas diakhiri.
I
Buku ini diawali cerpen Leo Tolstoy yang tajuknya mirip petatah-petitih a la akun Instagram religi itu, Tuhan Mahatahu, tapi Dia Menunggu. Berkisah tentang Aksionov, seorang pemabuk yang telah menjalani pertobatan. Pada sebuah musim panas di kota Vladimir, ia melakukan perjalanan niaga ke Pekan Raya Nizhny. Namun, suatu kejadian menimpanya bahkan sebelum ia sampai tujuan. Aksionov dituduh membunuh. Bahkan istrinya, yang tentu saja ia cinta, juga menaruh curiga. Ia kemudian dihukum cambuk dan dikirim ke Siberia untuk menjalani hukuman penjara.
Lalu tahun bersalin, terlipat dua puluh enam kali. Di umurnya yang telah senja – bayangkan saja seperti adegan Andy Dufresne akhirnya mendengar nama Elmo Blatch dalam The Shawshank Redemption – Aksionov berjumpa seseorang yang mengirimnya ke pengasingan tersebut. Tentu menyakitkan. Badai kian mengamuk dalam batinnya. Namun, manakala punya kesempatan balas dendam, ia justru memilih maaf.
Belum lagi bagaimana Tolstoy, dalam pengalurannya, melakukan back tracking. Dengan deskripsi nan detail ia menampilkan kelibatan masa silam si tokoh. Ada bayangan istrinya seakan-akan ia ada di sana: wajah dan matanya muncul di hadapannya, ia mendengar suaranya dan tawanya. Lalu ia melihat anak-anaknya, masih kecil-kecil ketika itu. Kemudian ia pun mengenang dirinya sendiri: muda dan ceria. Atau ingatan ketika duduk bermain gitar di beranda losmen, di mana dirinya ditangkap. Betapa dulu ia tak pernah merasa susah. Pada saat yang sama, ia melihat tempat di mana dirinya dicambuk, sang algojo, orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, rantai-rantai, para narapidana, seluruh tahun kehidupannya di penjara, dan usia tuanya yang prematur.
Tolstoy membawakan sebuah palagan batiniah yang memukau. Lewat kedirian Aksionov, ia menghadirkan kepada kita sebuah hal berharga yang dimiliki manusia; maaf. Tentu, keputusan tersebut tak akan pernah menebus kembali tahun-tahunnya yang hilang selama di lokap. Namun, apa lagi? Di tengah hidup yang berisik oleh persoalan-persoalan yang entah kapan dan dari arah mana kedatangannya, satu-satunya pilihan yang ia miliki adalah menerima. Memang, di bawah wacana besar bernama takdir, kita tak mungkin berserah sepenuhnya. Tapi bila diselisik lebih dalam, tindakan memaafkan adalah sebentuk perlawanan terhadap dendam yang bermukim dalam diri – yang acap kali mengikis kemanusiaan kita.
II
Beralih ke cerita kedua, Anton Chekov mengisahkan Guru Besar dan para biksu di sebuah biara. Suatu kali mereka kedatangan seorang lelaki mabuk yang meleter tentang orang sekarat karena kelaparan sementara yang lainnya tak tahu apa yang harus dilakukan dengan emas mereka; tenggelam dalam keborosan dan mati seperti lalat yang terjebak dalam madu.
Tokoh-tokoh tanpa nama dalam Sebuah Cerita Tanpa Judul tersebut diletakkan Chekov melingkari persoalan tentang kekacauan kota nun jauh dari jangkauan mata penghuni biara; orang-orang suci yang duduk dengan damai, makan dan minum dan memimpikan sorga seolah kelaparan dan ketimpangan bukan urusan mereka.
Maka esoknya sang Guru Besar berangkat ke kota termaksud. Namun, sepulangnya dari sana ia malah menghabiskan seminggu mengurung diri di selnya tanpa seorang pun tahu mengapa. Identik seperti tokoh Kakek yang kian murung dan kemudian hari menggorok lehernya usai mendengar celotehan Ajo Sidik dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Ketika akhirnya memilih bicara, Sang Guru Besar bercerita tentang hidup yang kacau, berisik, sedih, dan menjijikkan. Mulai dari keangkuhan pada Tuhan dan kematian, atau para hamba nafsu, dsb. Sementara ia bicara murka, para biksu menyimaknya seperti mereka mendengarkan akordeon Hans Hubbermann di ruang bawah tanah manakala WWII tengah berlangsung dalam sinema The Book Thief. Mereka membatu, dengan rakus mendengarkan kata-katanya dan seolah tersentak oleh sesuatu yang indah. Keesokannya tak ada seorang biksu yang tersisa; mereka melarikan diri ke kota.
Cerpen yang terbit pertama kali pada 1888 di Novoye Vremya (issue No. 4253) tersebut menjejali imaji saya akan situasi paradoksal: mengapa orang-orang suci itu malahan terpukau akan keadaan yang kacau dan berupaya merengkuh segala kemewahan semu yang ditawarkan dari cerita tentang megahnya kota? Chekov menghadirkan pengalaman batin yang aneh.
III
Pascamembaca cerpen nomor ketiga, Ratu Sekop-nya narapati sastra Rusia, Aleksandr Pushkin, saya jadi menerka-nerka, mungkinkah seseorang dapat dinilai berdasarkan tindakan atas pertanyaannya? Bagaimana saya menjadi bisa lebih baik kepada diri sendiri, misalnya? Di kemudian waktu saya akan berhenti mabuk-mabukan, memberikan lebih banyak kasih sayang, dan hal-hal semacamnya.
Hal demikian hadir-menyeruak dari sebuah adegan di dalam cerpen yang ditulis Pushkin pada musim gugur 1833. Sang protagonis, Hermann, meski sering menghabisi malam di depan meja kartu judi dan mengikuti permainannya dengan cemas, ia tak pernah terlibat. Ia tak pernah tertarik bermain judi. “I am not in the position to sacrifice the necessary in the hope of winning the superfluous,” seperti katanya.
Hermann membiarkan dirinya tak mendapatkan kemewahan sedikit pun. Namun, ia tak bisa beranjak dari pikirannya usai mendengar kisah tentang kemenangan Countess Fedotovna yang kemudian hari menghabisi senja usianya dengan ketenangan, punya banyak pelayan, serta kemanjaan lain yang ditawarkan hidup. Kisah Countess memberi kesan kuat dalam benak Hermann. Hasrat keingintahuan tentang rahasia kemenangan Countess menjalar di seisi pikirannya. Kemudian semuanya bermula: “Jika Countess tua mau mengungkapkan rahasianya kepadaku! Jika saja dia memberi tahuku nama dari tiga kartu pemenang. Mengapa aku tidak mencoba keberuntunganku?...”
Seperti disebut pada mukadimah bahasan cerpen Pushkin ini, bagaimana seseorang berubah dengan tindakan atas pertanyaan sendiri? Suatu malam Hermann mendatangi kediaman Countess dan meminta rahasianya dengan permohonan seorang istri, kekasih, ibu, dengan semua yang paling suci dalam hidup[2]. Tapi perempuan itu bergeming meski Hermann mengeluarkan pistol. Ia hanya menggelengkan kepala sebagai tanda “tidak”, kemudian ambruk dan kehilangan nyawa.
Di malam usai penghormatan terakhir jenazah perempuan tua itu, Hermann disambangi Countess! Ia membeberkan rahasianya dengan syarat tak akan bermain lagi di sisa umurnya serta bersedia menikahi salah satu pelayannya, Lizaveta.
Maka ia larut berjudi. Dan, seperti dalam banyak permainan, seseorang akan kalah juga. Herman berakhir sebagai pasien rumah sakit jiwa. Lizaveta telah menikah dengan lelaki lain. Ultra-ironik!
IV
Cerita keempat dan satu-satunya cerpen non-author-omniscient diisi nama Fyodor Dostoevsky dengan tajuk Pohon Natal dan Pernikahan. Dengan nada satirikal, cerpen yang ditulis pada tahun 1848 tersebut merekam cara hidup bangsawan Rusia dan mengkritiknya secara sekaligus.
Cerpen ini berkisah tentang tokoh Aku yang menjadi saksi awal mula pertemuan Julian Mastakovich dengan seorang gadis kecil nan cantik seperti Cupid. Namun, meskipun ditulis melalui sudut pandang orang-pertama, aku-tokoh justru tak banyak terlibat dalam adegan-adegan di dalamnya. Lewat gaya track backing, si narator hanya mengamati sebuah peristiwa tentang bagaimana seseorang mempertahankan kekayaannya meski dengan cara paling menjijikkan: menikahi perempuan di bawah umur anak kolega bisnisnya. Hal demikian dimaksudkan agar ia tetap dan terus menjadi orang terkaya di kalangannya juga terpandang sebagai keluarga yang bakir.
Pernikahan menjadi tak lebih dari soal hitung-hitungan. Ini yang juga dipaparkan Lediana dalam karangan ilmiahnya tentang cerpen terkait. Dia menulis, “Bahwa menikah karena cinta bukan merupakan hal yang penting. Lebih penting untuk menjalin kerja sama bisnis, untuk meningkatkan tingkat kekuasaan dan kekayaan. Hal ini menghapuskan nilai pernikahan yang sebenarnya[3]”.
Kita bisa membayangkan bagaimana si gadis, dalam hajat pernikahan itu, kecantikannya dihiasi pucat dan sedih yang pasi. Matanya tampak merah karena menangis sebentar ini. Atau melalui lekuk garis wajahnya, melalui kesedihan, terpancar kenaifan dan gelisah, yang, tanpa kata-kata, seperti memohon belas kasihan.
Lambat laun, saya kemudian dikerubungi empati sekaligus kemarahan dan rasa sedih sekaligus jijik. Bagaimana mungkin emosi semacam itu tak timbul manakala saya menyaksikan (dalam teks cerita tersebut) para orang-orang tua bajingan menikahi dan menikahkan anak mereka hanya demi kepentingannya?
V
Cerita terakhir dari buku ini memuat Kemarahan-nya Aleksandr Kuprin. Dengan kesan komikal, ia mengisahkan perwakilan Asosiasi Serikat Pencuri Rostov-Kharkovdan-Odessa-Nikolayev yang meleter tak keruan kepada sebuah komite pengadilan.
Kuprin, lewat karakter sang orator, berceloteh dan berceloteh. Ia menampilkan dengan subtil omong kosong tipikal orang mabuk dalam arti literal. Mulai dari curhat tentang hari-hari yang ngeri dan menyedihkan pada masa pogrom di mana mereka dituduh terlibat. Tentang ketimpangan sosial. Tentang eksploitasi kapitalisme. Tentang gagasan Proudhon menyoal propriete c’est le vol. Atau tentang racauan pertobatan yang tak akan mungkin bisa ditebus bahkan oleh cinta seorang perempuan! Sebab baginya, pencurian menampilkan “keindahan risiko yang permanen, jurang bahaya yang menakjubkan, hati yang tenggelam, denyut kehidupan yang bernafsu, ekstasi!”
Sebenarnya dari semua lanturan tersebut si orator hanyalah memohon pembersihan atas fitnah di koran-koran terkait kelompoknya tanpa perlu membahas persoalan filosofis, ekonomi, atau apa pun. Tapi tentu saja Kuprin tak akan selugu itu dalam menyusun cerita.
Kuprin tak memusatkan ceritanya pada apa yang kita sebut sebagai klimaks. Akan tetapi menyodorkan pengalaman estetik yang konstan sepanjang peristiwa. Kita tak akan menemukan konflik nan rumit selain kerumitan pikiran tokohnya. Memang, dalam cerpen ini Kuprin tak berkisah tentang gelap-dalam relung pikiran manusia atawa palagan batiniah sepertikan yang dibawakan Chekov, misalnya. Namun, meski demikian, bukan berarti cerpen Kemarahan adalah sebuah karya kodian yang picisan. Justru dengan cara tersebutlah ia mencari ruang untuk menggambarkan ilustrasi ideal tentang sebuah penghiburan dalam karya sastra. Kita mungkin tak paham apa yang sebenarnya terjadi (dalam dunia teks cerpen tersebut), tapi menemukan diri sulit beranjak hingga penghujung cerita.
*
Arkian, demikianlah kilasan lima cerita dalam Sebab Hidup Memang Begini dan Cuma Begini. Tentu, sebagai pembaca – yang konon adalah Makhluk Tak Bernama, yang lahir setelah kematian pengarang, yang kehadirannya menentukan ekosistem kepengarangan, yang akan selalu anonim di tengah khazanah sastra – kita diberkati kejernihan untuk memaknai peristiwa dalam tiap judulnya. Sebab tanpa itu, cerita-cerita tersebut hanya akan tinggal sebagai sekumpulan teks yang perlahan menarik diri dari realitasnya semula.
Mungkin kisah-kisah berabad silam dalam buku ini tak akan pernah mampu menjadi semacam morfin ketika menit-menit tak henti menerbitkan rasa sakit. Namun, kemungkinan bahwa sastra adalah suaka di tengah peperangan yang tak akan kita menangkan ini ada benarnya; sebagaimana kita membutuhkan ruang untuk berteduh di dunia yang tersusun dari air mata.
_______
Referensi: [1] Juli Sastrawan (Penerjemah), Sebab Hidup Memang Begini dan Cuma Begini (Partikular, 2021). [2] Ibid. Hal, 59. [3] Lediana, Analisis Kritik Sosial dalam Cerita Pendek ЁЛКА И СВАДЬБА “Pohon Natal Dan Pernikahan” Karya Fyodor M Dostoyevsky, Skripsi, Program Studi Sastra Rusia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran, 2016.
Comentários