top of page

Tiga Puisi Penyair Lekra


S. Pudjanadi, Kaum Tani Menuntut (‘Peasants Make Demands’), published in Harian Rakyat, 21 June 1964.

Badjak untuk Petani


Apakah jang lebih indah didunia ini

Selain mempertahankan tanah kepunjaan sendiri?


Kalian berdjuang untuk makan

Dikampung halaman

Kampung jang terasing oleh tangan² laknat

Tetapi betapa dihati melekat erat.


Kalian gemetar dan lapar

Dibumi jang subur, ditanah jang makmur

Betapa tinggi perbedaan kehidupan

Ditanah air tertjinta jang diagungkan.


Bintang² dipundak semakin meninggi

Ditengah bandjir airmata dan darah

Antara dua pahlawan:

Satu pahlawan pengchianat

Satu pahlawan rakjat.


Dan kami barisan penjair

Tegak siap pada jang benar

Dibarisan terhina jang lapar.


Sobron Aidit

23 Nopember 1961



Hidup petani desa


bila warna sendja tiada lagi tjemerlang

petani desa lintjah melenggang atas pematang

dikerut keningnja kepahitan membajang

dalam menempa hidup tenaga dan tjita adalah djuang


andai lelah sudah dibenam sendja

anak desa berketjimpung disungai, silau tua

sedang suami tertjinta belum pulang dari kota

beli badju tini untuk bekal hariraja


aih adakah kebahagian meresap ketjelah dada

bila sekaleng padi ditukar dengan sekilo gula gula


dua kali sudah tanah ini ditraktor belanda

dua kali pula suami tertjinta tersuruk dalam pendjara

tapi hati masih setia – masih setia


kalau malam telah turun mendjamah desa

anak tani pulas dibuai mimpi mesra

untuk kerdja besok, malam ini tempa tenaga.


Chalik Hamid

Medan, enampuluhsatu



Dua kelahiran


I

dia petualang

jang ketjarian tanpa kehilangan

dan dia rindu.


bajangkan kerinduan

tak ada jang dirindui

dan dia duka.


bajangkan kedukaan

rasa jang perih menjajat

rasa denjut melarut.


inilah kemabukan derita

jang mengaburkan batas

antara kenjataan dan ketidaknjataan

dan dia mendendam.


bajangkan dendam

jang terpendam dalam

jang merujak.


inilah kelahiran

jang membawa luka

didada.


II

dia pedjuang

dan dia menemui kelahiran.

inilah kelahiran oleh luka

jang diderita

dan oleh duka

jang memikul kekalahan demi kekalahan.


Tapi kelahiran ini

kemenangan dalam diri

atas diri sendiri.


kebentjian tiada mengesam

kemarahan tak padam²

kegairahan dan kegigihan jang senapas.


inilah kelahiran api

dari tjetusan badja

hanja sepertjik

membakar dunia.


III

dia lahir bersama urinja

bersama darah.


itulah kelahiran manusia

kelahiran Imam Bondjol, Diponegoro, Hasanuddin

dan sebelumnja lagi;

kelahiran Hadji Misbach, Monginsidi,

Dermo dan Termo

dan Kertosentono.


kemudian datanglah maut

bersama matapedang

bersama mulutbedil

atau kesunjian pembuangan.


dia lahir dari kematian ini

mewarisi deritahati

jang djuga deritahatinja.


kematian djadi kelahiran baru

kelahiran jang membedakan

dan jang menentukan

kemenangan hidup atas mati.


Hr. Bandaharo

Medan, Desember 1957


__________


Semua puisi di atas ditik ulang dari antologi yang diterbitkan oleh Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Matinja Seorang Petani (1961). Buku tersebut – senasib dengan kumpulan puisi Jang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah karya Sabar Anantaguna serta Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta – sempat dibredel oleh militer sebagai Penguasa Perang.


FYI, antara Maret 1957 hingga 1 Mei 1963, Penguasa Perang memiliki kekuasaan tak terbatas untuk memberlakukan sensor dan pelarangan terbitan. (Lihat: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor23/Perppu/1959 Tentang Keadaan Bahaya, Pasal 40).


Pada tahun 1963, Konferensi Nasional LEKRA digelar untuk menggalang front kebudayaan revolusioner, salah satu keputusan rapat besar LEKRA menuntut dicabutnya pelarangan antologi puisi tersebut.

Comments


Logo Invert.png

Suaka Sastra

  • Instagram

Antinovel merupakan rak paling ujung bagi sekumpulan catatan kolase cemas yang ditulis menjelang maut. Di situs ini, secara spesifik Antinovel – sebagai media amatiran – berupaya menyalin peristiwa-peristiwa (sebagai) sastra.

© 2023 by The Artifact.

Proudly created with Wix.com

bottom of page