Tanpa syahdan, aku memilih untuk mencuri enam puisi Ajip Rosidi (saat itu dieja A. Rosshidy) yang terbit nun di masa silam, saat usianya masih delapanbelas, setahun setelah ia menerbitkan kumcer pertamanya, Tahun-tahun Kematian (1955). Kesemua puisi tersebut terhimpun dalam antologi Pésta (edisi elektronik, 2018) yang dicetak pertama kali pada 1956. Setahun setelahnya, ia menerima Hadiah Sastera Nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional untuk tahun 1956-1957.
Antologi ini menyumbang performa progresif kepenyairan Ajip sebagai sastrawan nan melegenda – yang pada ke duapuluh tahun umurnya telah menerbitkan tujuh buku itu. Dalam antologi ini ia memang tak merakit sebuah teks dinamit yang hendak ditujukan untuk menggugat kondisi sosial politik Indonesia kala itu, atau mengesankan dirinya sebagai nabi kesepian yang mengutuki neraka dunia. Ia tak menampilkan naifnya masa muda, tetapi meleburkan diri pada setiap degup dalam sebuah sajak.
Andries Teeuw dalam Sastra Indonesia Modern II (1989:114) menyatakan bahwa sejak karya pertamanya terbit pada pertengahan tahun 1950-an, Ajip Rosidi nyaris takpernah absen dari khazanah sastra, sepanjang waktu itu sampai dengan 1989. Di samping hal tersebut, dalam pengantar untuk kumcer Mimpi Masa Silam (2001), Henri Chambert-Loir menyebut wonderkid kesusastraan Indonesia itu sebagai pengarang yang makin sedikit jumlahnya, yang menghasilkan karya sastra baik dalam bahasa nasional maupun bahasa daerahnya. Kita bisa memercayainya pada serangkaian dedikasi ini: ia membangun proyek ilmiah untuk merekam dan menerbitkan belasan pantun Sunda; ia ikut menyusun sebuah antologi sastra Sunda modern; ia mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancagé.
Aku tak akan merinci senarai pencapaian Ajip atau perjalanan hidupnya, kalian bisa menemukan semua itu pada tulisan lain. Lagi pula, blog pribadi semacam ini tak akan dipercayai siapa pun (sad anying :((( ). Tapi tak apa, aku cuma ingin membawa puisi-puisi tersebut ke masa kini sebagai kawan kesepian di tengah tsunami informasi.
Demikian. Selamat bertemu Sang Legenda.
Tabik!
rampas
lama bintang tak muncul
gadis di pelukan orang
dan sejuk angin ke dada
– pelukan hampa –
gadis tak kembali
dan bintang tak muncul-muncul
P
ia pun mendagangkan harapan
dan inginku menghakinya utuh seluruh tanpa tawar-tawar
ia pun membungakan keindahan
dan mauku mendekapnya erat melalui kehidupan hambar
ia menginginkan kecéngéngan meminta
ia menginginkan kemesraan memuja
tapi bulan sudah mati bintang luluh
aku diam tak mengeluh mengaduh
surat buat jassin
sungguh hidupku di dunia empat dinding
di luarnya jalan-jalan begitu lengang
di dalamnya kepahitan mendepai sepi
di dalamnya terkubur aku sendiri
ingin merapatkan diri pada kesejukan senja
ingin menulis dan hidup kedamaian kerja
menekankan dada pada degup kehidupan tukang bécak
meleburkan diri pada meréka dalam sajak
penyair
bukan semata karena duka
tidak semata karena sepi
tapi dihidupi oléhnya
jika karena duka cuma
telah lama diam
jika dalamnya pun karena kira
telah lama tenggelam
kediam-diaman
masihkah kita mesti bicara
– apa yang lebih menusuk dari mata? –
diam dan bunuh setiap kata
jika ingin masih
julurkan lidahmu ke mulutku penuh kasih
membeku setiap tanya
dalam dada
hidup dari mimpi ke lain ranjang
menunggu pintu terbuka lapang
Tahun demi tahun
jika tinggal sepi linangan tahun di matamu
tahun-tahun yang léwat tergenang bening di hatiku
mari jabat tangan telah terbakar luka
kita kan hidup satu denyut satu jantung
semua tahun kembali terkenang lapar dan rindu
mata telah jadi kaca pudar melembari satu jat
kita kan hidup satu degup dalam satu gerak
Bandung, 15 November 2021
Comments