Bila diselisik secara etimologis, sastra berasal dari bahasa Sanskerta, dari akar kata sas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Sementara akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.
Akan tetapi, tulisan yang ditujukan untuk memenuhi mekanisme penilaian akhir mata kuliah ini tidak akan menyoalkan apa itu sastra sebab dosen saya tidak menugaskan untuk membahas hal tersebut. Paragraf mukadimah yang saya susun semata-mata demi mengantarkan kita kepada perkara tentang bagaimana sastra hadir di ruang kelas sebagai sebuah instrumen demi peserta didik memiliki pemahaman mendalam ihwal fenomena kehidupan. Lebih-lebih, sastra adalah sebuah kebutuhan dasar lahiriah yang mesti diakomodasi oleh pendidikan.
Pembelajaran sastra di sekolah, seperti disinyalir oleh Moody dalam Sumiyadi (2010), mungkin dapat membantu keterampilan berbahasa, mungkin dapat menambah pengetahuan budaya, mungkin juga dapat membantu pembentukan watak yang sesuai dengan budaya adiluhung bangsa. Namun, yang tidak kalah mungkinnya, sastra juga dapat mempertajam daya rasa dan cipta peserta didik, sehingga menumbuhkan jiwa-jiwa yang kreatif.
Demi menggapai kemungkinan-kemungkinan di atas, agaknya kita harus menyepakati bahwa karya sastra yang sublim bukan hanya tersusun oleh sebuah komposisi estetik, namun juga mesti sejalan dengan perjuangan khalayak. Dan, perjuangan tersebut boleh jadi berupaya disemai di milieu pendidikan, yang betapa pun sarat akan kepentingan – entah politik atau ideologi tertentu – tetaplah menjadi salah satu altar di mana sastra dapat mengemban nilainya.
Tetapi untuk memasukkannya dalam ruang pendidikan, pertama-tama sastra harus melewati filter tujuan pembelajaran. Pada Kurikulum 2013 jenjang SMA tujuan tersebut ialah agar siswa mampu menganalisis dan mencipta, serta mengembangkan karakter individu dan sosial melalui karya sastra[1].
Namun yang menjadi soal, penyebutan susastra – betapa pun ia mengemban semangat yang progresif – tidak serta merta berkaitan dengan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Sebagai contoh, kita bisa melihat puisi Amir Hamzah. Banyak kritikus melihat aspek spiritual-sufistik-profetik dalam puisinya, khususnya kumpulan Nyanyi Sunyi. Semangat religius Amir Hamzah tidak dapat ditampik.
Menurut Andries Teeuw, seperti disampaikan ulang oleh Arif Bagus pada gelaran Sandyakala Sastra 30, di Bentara Budaya Bali 2013, Nyanyi Sunyi terutama mengangkat hubungan Amir Hamzah dengan Tuhan, yakni “Sebuah hubungan yang penuh problem bagi sang penyair, karena Tuhan sangat berbeda dari sebagaimana yang diinginkannya. Dia [Tuhan] nampak begitu kejam, begitu tak acuh, begitu jauh.”
Dengan demikian, kita dapat menarik sebuah simpulan bahwa kumpulan puisi Nyanyi Sunyi terutama merefleksikan krisis religius dalam kehidupan sang pengarang, dengan menjelajahi “hubungan penuh problem” antara sang penyair dan Tuhan.
Lantas, bagaimana karya sastra yang mengungkapkan hubungan penuh problem antara Tuhan dan manusia dapat membentuk karakter insan religius, misalnya, yang dimaksudkan sebagai pengajaran di sekolah? Sementara hingga kini pembelajaran sastra, khususon dalam mengapresiasi, pada awalnya guru selalu memahami karya sastra (puisi, cerpen, novel, atau drama) dengan berpusat pada teks, melalui pendekatan intrinsik sehingga pertanyaannya hanya berkisar pada tema, latar tempat dan waktu, serta tokoh-tokoh yang hadir dalam sebuah karya sastra.
Kita barangkali bersepakat bahwa sastra adalah jalan menuju kebenaran, setelah agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Sastra memperjuangkan nilai kebenaran. Namun pendidikan mensyaratkan kepastian akan hal tersebut. Sementara sastra tidak. Pendidikan tidak mungkin diselenggarakan di area moralitas yang abu-abu, yang sering kali menjadi latar susastra. Konon, sastra cenderung menolak diringkus menjadi ajaran benar-salah atau baik-buruk yang definitif. Peringkusan ini rasanya sulit dielakkan ketika karya sastra dibaca sebagai semacam textbook atau manual tuntunan budi-pekerti, misalnya dalam rangka membangun karakter bangsa.
Dengan mengenakan perspektif makalahnya Arif Bagus, fungsi sastra pada zaman kiwari adalah “untuk memulihkan kesadaran”. Tetapi bukan kesadaran dalam arti mengetahui dan mengerti (seperti kesadaran nasional, kesadaran politik atau kesadaran sosial), melainkan kesadaran dalam arti “terjaga dan ingat”; kesadaran sebagai antonimi dari hilang-kesadaran.
Bila hal tersebut terlupakan dalam membicarakan sastra pendidikan, bukan tak mungkin akan ada diskriminasi bahkan sejak penyeleksiannya. Sementara, polemik tentang kanonisasi sastra saja masih belum usai. Maksudnya, karya sastra yang mempromosikan nilai-nilai “kebenaran” versi lembaga kekuasaan, dalam hal ini negara, tak peduli betapa pun dangkal mutu sastranya, akan didukung dan disebarluaskan secara sistematis lewat pelajaran di sekolah-sekolah; sementara karya sastra yang kritis, subversif, liar, atau tidak “baik dan benar” menurut standar otoritas tertentu, akan digulung dan terpaksa hidup sebagai klandestin, tak peduli betapa pun tinggi mutu sastranya. Tentulah ironis.
Terlebih, dalam menilik sastra sebagai media pendidikan kita perlu melihat suatu kenyataan, seperti disitir Drs. Sumiyadi dari Sapardi Djoko Damono, sastra yang ditulis berdasarkan tata nilai tertentu, yang mungkin saja milik golongan, etnis, dan bangsa tertentu, tentu saja akan lekang karena perubahan zaman.
Sementara di samping hal tersebut, kita juga sulit mengelak gambaran Huntington tentang peradaban – di mana sastra menjadi salah satu produknya – yang cepat berubah, tetapi juga hidup sangat lama, berkembang tetapi juga mengalami kemunduran, beradaptasi, dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia[2].
Atas dilema semacam itu, mengapresiasi dan mengkaji sastra (dalam pembelajaran di sekolah) kini harus mengalami inovasi dengan mengikuti teori sastra kontemporer. Seiring perubahan zaman dan paradigma ilmu pengetahuan, pendidikan sastra dituntut relevan dengan hal tersebut[3]. Permisalan kecilnya, pemahaman tidak lagi berpusat pada teks, namun berpusat pada pembaca, melalui pendekatan reader response. Dengan demikian diharapkan keberadaan sastra di ruang pendidikan menjadi lebih bermakna.
Bandung, 7 Januari 2022
Angga
Tulisan ini semula ditujukan untuk memenuhi mekanisme penilaian akhir mata kuliah yang diampu Tia Irawan, S. Pd., M.AP.
Referensi:
[1] Eko Triono, Tujuan, Fungsi, dan Materi Pembelajaran Sastra Indonesia dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Kurikulum 2013 Jenjang Sekolah Menengah Atas, Tesis, Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret, 2018.
[2] Kustyarini, Sastra dan Budaya. Dimuat dalam jurnal IKHITAPRAJNA Vol. 16, Nomor 2, hal 1-13. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Wisnuwardhana Malang.
[3] Dalam Sastra Pendidikan dan Pendidikan Sastra (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra UPI, 2010), Drs. Sumiyadi lebih lanjut membabarkan tawaran penyusunan teori dan kritik sastra Indonesia yang relevan, yang mengarah pada terbentuknya teori dan kritik sastra – produksi negeri sendiri. Hal tersebut dimaksudkan agar pendidik memiliki contoh ihwal analisis dan apresiasi sastra dari kritikus sastra. Sebab, teori sastra pinjaman dari Barat, yang berlatar belakang kemantapan bahasa Inggris, tidak dapat dianggap sebagai alat siap pakai sehingga penggunaan dan pemanfaatannya perlu disiasati.
Comentarios