Pernahkah kalian merasa terserap ke dalam sebuah cerita fiksi karena saking asyiknya membaca buku atau menonton film sehingga lupa waktu ataupun sedang berada di mana? Apakah kalian pernah merasakan hal itu, bahkan beberapa waktu kemudian, kalian masih merasa berada dalam sebuah cerita, bahwa kamar kalian tidak senyata dunia fiksi yang sedang kalian alami? Bagaimana mungkin kita bisa begitu terhanyut oleh kata-kata dalam sebuah cerita atau sebuah potongan gambar dari sebuah film? Dari manakah asal kekuatan novel, cerita pendek, atau film yang sangat menakjubkan itu?
Fiksi menawarkan kesenangan dengan membawa kita mengikuti tindakan demi tindakan dari sebuah cerita; berjumpa tokoh yang tidak biasa; merasakan berada di alam yang berbeda; perasaan ketika mengetahui akhir cerita yang diharapkan; perasaan bahwa segala sesuatunya terselesaikan, bahwa peristiwa, tokoh, latar, plot, dan tema semuanya saling berhubungan satu sama lain. Perasaan tersebut terjadi karena kehidupan sehari-hari kita terasa lebih buruk atau berantakan jika dibandingkan dengan sebuah narasi fiksi. Tidak peduli apakah fiksi tersebut menawarkan pahlawan wanita yang kuat serta penjahat yang sama kuatnya; atau apakah berakhir dengan bahagia; atau tragis; atau menyedihkan, tetaplah kesenangan ditemukan serta dirasakan di sana.
Terlepas dari kesenangan yang ditawarkan oleh sebuah narasi fiksi, satu hal yang jelas: kemampuan untuk memahami serta bercerita sepertinya bersifat universal. Meskipun dalam hal ini saya bukan seorang antropolog, saya merasa sulit membayangkan jika suatu budaya masyarakat tidak memiliki sebuah cerita. Memang benar, sebagian besar masyarakat memiliki budaya mitologinya masing-masing—semacam kumpulan kisah-kisah suci pendahulu—guna menjelaskan asal usul dan sejarah mereka. Kita memiliki serta memperoleh kemampuan bernarasi sedari dini. Sebagai anak kecil, bahkan sebelum kita mampu membaca, kita sudah tahu cara mengikuti plot sebuah cerita serta mengetahui tokoh dari cerita tersebut, menyimpulkan sebuah isi cerita hingga mengetahui amanat serta maknanya. Misalnya, anak-anak berusia tiga tahun yang duduk di depan televisi menonton sebuah kartun atau pertunjukan boneka. Mereka dengan mudah memahami cerita yang sedang mereka saksikan di televisi tersebut. Mereka mengetahui tokoh dari cerita tersebut, seperti apa mereka, apa yang mereka lakukan, dan akibat dari yang mereka lakukan. Contoh lainnya, seperti mereka menonton kartun Upin-Ipin ataupun Boboiboy (penj.), mereka mampu menebak peristiwa apa yang akan terjadi berikutnya; atau diberi buku bergambar tanpa kata-kata, mereka mampu menceritakan kembali kisah dari buku tersebut kepada kita. Mereka sudah mengetahui cara mengisi kesenjangan narasi. Tunjukkan pada mereka gambar seorang gadis yang sedang berada di dapur pada halaman satu dan gadis pada halaman selanjutnya yang sedang berada di taman bermain, dan mereka dapat memberitahu kita kejadian di antara keduanya bahwa gadis itu pergi dari rumahnya ke taman bermain. Mereka akan menceritakan bagaimana gadis itu bisa sampai di taman bermain—misalnya, gadis itu duduk di samping ayahnya dalam sebuah mobil. Kemampuan untuk mengisi kesenjangan ini sangat penting untuk memahami sebuah narasi dan kita sudah memilikinya hampir sepanjang hidup kita. Hal tersebut merupakan keterampilan yang menakjubkan, bukan? Hal tersebut kita pelajari secara mandiri, dengan cara yang sama seperti belajar berjalan dan berbicara.
Seiring bertambahnya usia, kita memperoleh keterampilan narasi yang lebih kompleks. Kita lebih memahami pengaturan plot yang lebih kompleks semisal kilas balik dan kilas depan. Kita belajar merangkai sebuah plot atau alur yang tercecer dari sebuah cerita. Apa pun yang ditawarkan oleh sinetron, kita dengan mudah mengikuti alurnya yang begitu rumit--semisal menikmati sinetron yang dengan banyaknya peristiwa tetapi kita tetap mampu menikmati setiap rangkaiannya. Pun kita belajar bagaimana memahami penokohan yang lebih kompleks daripada Spongebob Squarepants (penj.)
Keterampilan narasi kita itu luar biasa, meskipun kita tidak pernah sadar bagaimana atau kapan kita memiliki atau pun memperoleh kemampuan tersebut. Kita mampu menerapkan keterampilan tersebut dalam sebuah cerita dari berbagai media seperti film di bioskop, sinetron di televisi, novel, cerpen, opera, komik, pertunjukan boneka, atau sandiwara panggung. Ketika sebuah proyektor menampilkan sebuah film pada layar bioskop, maka sebuah cerita akan dimulai, saat itu pula kita diajak berjalan masuk ke dalam cerita yang sedang dibangun, dan kita akan menggunakan keterampilan naratif yang kita miliki untuk memahami cerita tersebut.
Dengan demikian, sebetulnya buku teori fiksi pada perguruan tinggi atau pun yang beredar di pasaran, tidak perlukan lagi untuk mengajari kita tentang apa yang sudah kita ketahui cara melakukannya dengan baik. Memang benar, banyak buku teori fiksi yang hanya mengasumsikan kompetensi naratif kita dan hanya mencetak ulang dari yang sudah ada. Pun ada pula yang mencoba memberi nama, mendefinisikan, dan menjelaskan teknik naratif. Hal tersebut didasarkan karena banyaknya alasan untuk mempelajari bagaimana membaca narasi fiksi. Sama seperti seseorang dalam tim renang—yang sudah ahli dalam menggerakkan lengan dan kaki di dalam air—mungkin akan mempelajari fisiologi untuk memahami fungsi otot yang ia gunakan. Pun sama halnya seperti seorang yang senang membaca fiksi mungkin akan mempelajari bagaimana cara fiksi tersebut membentuk pemahamannya serta bagaimana ia bisa menikmatinya melalui teori, teknik, istilah, ataupun definisi fiksi atau pun teks naratif. Di sisi lain, pengetahuan tentang fiksi membantu seseorang mengapresiasi bagaimana pengarang mampu menciptakan semacam efek terhadap pembacanya, misalnya ilusi mengenai perjalanan waktu, atau pengalaman batin dari kehidupan seorang tokoh, atau perasaan jikalau cerita tersebut memiliki makna lebih dari apa yang dibayangkannya. Banyak dari kita dan mungkin pecinta film secara umum tertarik mempelajari istilah teknis yang digunakan untuk menciptakan sebuah ilusi dalam film, seperti bagaimana mengedit film, mengisi suara, pengambilan sudut pandang sehingga menciptakan suasana berbeda, atau pun penggunaan musik yang sesuai. Teknik narasi dalam sastra pun tidak kalah menarik dan cerdas dibandingkan teknik dari sinema.
Bahkan pemahaman dasar tentang teknik naratif membantu mempertajam kemampuan kita membaca narasi fiksi. Hal tersebut mampu meningkatkan kepercayaan diri seseorang dalam membaca atau pun menganalisis kesulitan dalam sebuah narasi fiksi. Cerita-cerita yang terlihat sangat gelap serta buram bagi kita akan menjadi jelas ketika mengetahui cara serta bentuk-bentuk yang menghalangi pemahaman dari cerita tersebut. Apakah itu bahasanya yang berbelit? Apakah itu plot yang berantakan? motivasi para tokohnya? Atau identitas narator pada saat tertentu? Atau tema keseluruhan cerita?
Sebetulnya mempelajari tentang teknik naratif mungkin tidak akan menjawab pertanyaan itu, tetapi, setidaknya itu membantu kita dalam memahami sebuah narasi fiksi; untuk mengidentifikasi sumber kesulitannya berasal dari mana, meskipun masih secara umum. Kita akan selalu merasa senang dan meningkatkan keinginan serta kemampuan dalam membaca dan memahami fiksi yang lebih sulit. Kesenangan tersebut akan meningkat seiring dengan semakin besarnya apresiasi terhadap karya sastra yang membuat narasi fiksi terasa ajaib.
Beberapa orang mungkin tidak akan mau memikirkan mengenai fiksi lebih jauh lagi. Mereka beranggapan bahwa menganalisis sebuah narasi fiksi dengan mempelajari rahasia penulis atau sutradara meracik karyanya akan merusak ilusi dan karenanya merusak kesenangan dari sebuah novel, film, atau sinetron. Tetapi, apakah itu benar? Apakah kita tidak menikmati mengendarai mobil setelah mengetahui bagaimana mobil itu dirakit? Dalam hal ini, saya menemukan bahwa dengan kita mampu menganalisis sebuah narasi fiksi hal tersebut malah meningkatkan kesenangan terhadap fiksi. Saya melihat sebuah cerita pendek yang bagus seperti saya menonton sebuah pertandingan sepak bola yang dimainkan dengan baik. Salah satu kesenangannya adalah saya melihat tim kesayangan menang, tapi yang lebih menyenangkan adalah menyaksikan bagaimana proses tim kesayangan kita menang. Hal tersebut sama menyenangkannya ketika mengetahui bagaimana sebuah cerita terbentuk, untuk memikirkan bagaimana pengarang mewujudkan semua itu, bagaimana ia menciptakan tokoh yang luar biasa, bagaimana dia membuat kita peduli terhadap tokoh, peristiwa, atau tema dari cerita tersebut.
Mengapa saya menggabungkan fiksi dari sastra dengan sinetron dan film? Karena terdapat kesamaan narasi antara novel dengan sinetron, film, pertunjukan boneka, pantomim, balet, bahkan sebuah pertunjukan sirkus. Tentu saja, media yang digunakan sangat jauh berbeda, novel menggunakan media bahasa sedangkan sinetron maupun film menggunakan media visual. Bukanlah hal baru jika buku hanya mengandalkan proses pencetakan secara fisik—meskipun hari ini sudah banyak buku dalam format digital semisal kindle (penj.)—sedangkan film dan sinetron menggunakan visual serta musik. Namun, dari hal tersebut ada kesamaan yang penting. Apapun medianya, sesuatu itu terjadi dalam sebuah narasi fiksi mereka memiliki rangkaian peristiwa. Selanjutnya, peristiwa-peristiwa tersebut dilakukan serta dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita tersebut dan hal tersebut terjadi di dalam satu latar tertentu. Baik melalui kata-kata yang dicetak, gambar yang difoto, atau rekaman suara, kita mengalami elemen dasar sebuah narasi fiksi yaitu alur, tokoh, latar, dan tema. Menilai apakah versi filmnya lebih baik atau lebih buruk daripada novelnya memang sedikit lucu, karena hal tersebut tidak membuang-buang waktu (penj.) dan tidak menguntungkan, seperti membandingkan apel dengan jeruk. Namun, satu hal yang dapat kita yakini meskipun sebuah novel jelas berbeda dari sinetron atau film, semuanya merupakan sebuah narasi. Plot, tokoh, dan latar adalah hal yang umum ditemukan, dan jelas kita akan menggunakan keterampilan narasi yang sama dengan membaca, menonton, atau pun mendengarkannya.
Beberapa kritikus sastra terkadang mengatakan bahwa masyarakat yang malas lebih memilih film dan sinetron dibandingkan membaca sastra karena langsung melihat citraan dari cerita tersebut, sehingga mereka tidak perlu repot dengan kata-kata serta imajinasi mereka. Dalam hal ini saya tidak setuju, kita tidak perlu mengolok-olok film maupun sinetron sebagai upaya glorifikasi sastra atau kegiatan membaca sastra. Di satu sisi, jelas tidak benar jika film mengabaikan kata-kata sebuah bahasa dalam dialognya. Sebaliknya, dialog sangatlah penting dalam media visual semacam film atau pun sinetron—bahkan dahulu film bisu pun memerlukan kata-kata agar penonton mampu mengikuti plotnya. Padahal dalam hal kesulitan, dialog yang cepat atau rumit dari beberapa film sebenarnya mungkin akan lebih sulit diikuti oleh penonton daripada dialog dari sebuah cerita pendek dari koran mingguan yang kita baca (penj.). Sebuah karya sastra setidaknya memungkinkan kita untuk membaca ulang dialog atau pun membacanya dengan lebih santai, tetapi, film atau sinetron hanya memberi kita satu kesempatan untuk memahaminya—kecuali jika menontonnya dalam bentuk rekaman. Sebuah audiobook (penj.) juga tidak membuat narasi dari sastra menjadi lebih sulit untuk dipahami. Semisal, anak kecil dapat memahami apa yang orang tuanya bacakan kepada mereka, bahkan dari cerita yang tidak berisi gambar.
Memang benar jika sebagian besar film dan sinetron ditujukan untuk pasar yang lebih luas. Hal tersebut didasari oleh biaya produksi yang mahal, para sutradara serta produser film atau pun sinetron ingin memastikan bahwa produk mereka mudah dipahami oleh semua kalangan. Mereka cenderung menyederhanakan produk mereka dan membuatnya nyaman dinikmati oleh siapa pun. Terkadang kita tidak sadar atau pun merasa jika kecerdasan kita dihina oleh sebuah film ataupun sinetron yang demikian. Namun, film dan sinetron yang menantang secara intelektual pun sebetulnya bisa dibuat. Bahkan, beberapa di antaranya membutuhkan keterampilan dan kecerdasan yang sama besarnya seperti meracik cerita pendek atau pun novel yang bagus. Setiap media telah menciptakan karya klasiknya masing-masing, dan kita tidak perlu mengolok-olok satu media dengan mengorbankan yang lainnya. Tidak ada media yang secara naratif lebih unggul; kita mungkin lebih menyukai satu media dibandingkan yang lain, namun tetap saja semua berdiri di atas struktur naratif yang mendasari terciptanya film, sinetron, atau pun sastra itu sendiri; dan dengan struktur naratif tersebut kesenangan tercipta. Namun saya tidak akan pernah berpendapat bahwa kata-kata dari lembaran halaman cetakan buku lebih unggul daripada rangkaian gambar dalam sebuah film dan rekaman suara. Membaca, dengan sendirinya, bukanlah aktivitas yang lebih unggul daripada menonton film atau pun sinetron. Itu semua tergantung pada apa yang kita baca atau tonton.
Namun, ada pula yang berpendapat jikalau film dan sinetron telah mampu menjauhkan bahkan menyingkirkan sastra dari hadapan masyarakat. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka akan sangat disayangkan, karena narasi dari sebuah karya sastra memberikan kesenangan yang unik dibandingkan menonton film atau pun sinetron. Misalnya, sastra memungkinkan kita berimajinasi atau membuat citraan kita sendiri mengenai tokoh atau pun keadaan yang dialami tokoh tersebut. Jika Anda membaca Gadis Kretek sebelum menonton filmnya atau membaca Bumi Manusia sebelum menonton filmnya, barangkali kita akan disuguhkan dengan citraan-citraan yang sama sekali berbeda dari citraan yang diberikan filmnya (penj.)
Keunikan dari kesenangan menikmati karya sastra adalah merasakan pengalaman dalam kehidupan batin tokoh-tokohnya. Karena film atau pun sinetron sangat erat kaitannya dengan visual sebuah cerita, para sutradara atau pun produser film biasanya jarang mengungkapkan seluruh pikiran dan perasaan karakternya. Kita mungkin akan menebak apa yang sedang mereka pikirkan secara umum dengan menarik kesimpulan dari dialog, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh mereka, tetapi kita dapat tidak mengetahui seutuhnya seperti kita mengetahui pemikiran tokoh-tokoh dalam novel atau pun cerita pendek. Kita tidak mengetahuinya secara sempurna seperti bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Pikiran tokoh dapat diungkapkan secara verbal pada sebuah film atau sinetron melalui efek khusus yang diciptakan para kru film, tetapi para sutradara film modern menganggap hal tersebut terasa dibuat-buat. Mereka lebih suka jika aktor menyampaikan perasaan mereka melalui wajah, tubuh, dan ucapan. Jika mereka ingin penonton mengetahui dengan tepat apa yang dipikirkan tokoh, maka mereka cenderung memasukkan pemikiran tersebut ke dalam dialog.
Selama beberapa tahun terakhir saya telah mengajar course dengan tema "Novel Into Film", uniknya hal ini lebih banyak menarik penggemar film daripada sastra. Banyak orang yang datang terutama untuk menonton filmnya, tapi setiap akhir semester saya selalu terkejut dengan banyaknya orang yang memberi tahu saya betapa luar biasa novel tersebut, bagaimana novel itu memungkinkan mereka untuk mengetahui lebih dalam mengenai tokoh dengan cara yang tidak diberikan oleh sebuah film. Saat kita menonton film yang diadaptasi dari novel, seperti Great Expectations karya Charles Dickens atau The Color Purple karya Alice Walker, kita mungkin mengidentifikasi satu karakter atau yang lainnya, namun kita tidak mampu memiliki perasaan yang diberikan novel terhadap film tersebut. Tidak peduli betapa bagusnya seorang aktor film atau sinetron, dia tidak dapat mengomunikasikan pemikiran serta perasaan tokoh hanya melalui ucapan dan gerakan saja, pemikiran yang mungkin diungkapkan dalam novel dengan begitu banyak kata. Karya sastra tetap menjadi media yang lebih mampu memberikan pemahaman terhadap tokoh. Di bioskop kita hanya menjadi penonton, namun dalam cerita pendek dan novel mampu memberi kita akses lebih jauh ke dalam kehidupan batin para tokohnya. Bahkan cerita pendek seperti “The Killers” karya Ernest Hemingway, yang hanya menceritakan bagian luar dari tindakan dan penampilan, memungkinkan kita dan mendorong kita untuk menyimpulkan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh tokohnya. Kita akan lebih sulit melakukan hal tersebut ketika menonton film. Mungkin karena scene yang terlalu cepat; peristiwa-peristiwa yang datang begitu cepat silih berganti sehingga kita tidak punya waktu untuk mengetahui tentang apa yang ada dalam pikiran para tokoh. Sekalipun kita mempunyai pemahaman tentang apa yang mereka pikirkan, pemahaman tersebut hanya samar-samar, tidak seutuh seperti dalam karya sastra.
Saya telah menghabiskan banyak waktu untuk berdiskusi mengenai film dan sinetron karena keduanya merupakan pesaing utama sastra dalam mengisi waktu senggang yang kita gunakan untuk mengonsumsi narasi fiksi. Jika kita sudah banyak membaca fiksi, kita tidak perlu terganggu akan kesenangannya. Namun, jika membaca fiksi bukanlah aktivitas favorit kita, kita dapat melihatnya dari sudut pandang yang akan saya sarankan.
Ada banyak alasan untuk membaca fiksi di era elektronik, tapi biarkan saya menyebutkan satu saja. Ini adalah cara yang paling tidak menyakitkan untuk meningkatkan kemampuan melek huruf masyarakat secara umum. Tidak perlu seorang pun memberitahu kita jika tujuan dari pendidikan adalah meningkatkan kualitas serta cakupan bacaan. Saat ini kita mendengar seruan umum untuk “Cultural Literacy”. Para siswa, diprovokasi, harus belajar lebih luas lagi dibanding pendidikan yang sedang dijalaninya. Mereka tidak boleh terlalu fokus pada profesi mereka di masa depan nantinya. Secara khusus, mereka harus belajar sesuatu tentang dasar masyarakat multikultural kita. Cultural Literacy tidak hanya akan meningkatkan peluang mereka di bidang ekonomi, namun juga meningkatkan kualitas waktu luang mereka.
Argumen ini bagi saya tampak jelas. Namun, saya segera menambahkan bahwa mempelajari sastra tidak akan terasa secara langsung seperti yang ditawarkan setelah mempelajari akuntansi, misalnya. Hanya sedikit pekerjaan yang bergantung pada pengetahuan pelamar tentang Dickens atau Faulkner—kecuali, tentu saja, pekerjaan tersebut adalah menjadi guru sastra. Tetapi, tidaklah terlalu berlebihan untuk percaya bahwa semakin banyak kita membaca, semakin kita meningkatkan penguasaan terhadap bahasa, dan dari dua orang yang diwawancarai, HR akan memilih yang lebih pandai bicara dan lebih banyak membaca. Terlepas dari itu semua, mereka yang mendengarkan dan berkomunikasi dengan baiklah yang dihargai dan dibutuhkan oleh masyarakat kita. Saya tidak akan mengatakan bahwa kemampuan berbicara dan kepandaian menulis harus diperoleh dari banyak membaca karya sastra. Namun yang jelas bacaan apa pun akan membantu meningkatkan kemampuan seseorang untuk berkomunikasi, dan sastra merupakan salah satu bacaan yang menyenangkan. Lebih khusus lagi, keterampilan menganalisis karya sastra sama seperti keterampilan analisis yang dibutuhkan profesi lain. Seperti yang dikatakan oleh Profesor Mary Louise Buley-Meissner dari Universitas Wisconsin-Milwaukee: "Belajar mengubah perspektif, mengenali keterkaitan antara orang-orang dan benda-benda dalam skenario yang kompleks, lebih dari sekadar meringkas dan membuat hipotesis, menafsirkan dan menggambar kesimpulan dan bahkan spekulasi dari interpretasi seseorang—keterampilan tersebut dapat diperoleh dari membaca sastra yang berhubungan langsung dengan pelatihan profesional dan kesuksesan."
Namun, tugas saya bukanlah mempromosikan sastra sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang tinggi. Sebaliknya, saya dengan senang hati menggemakan argumen bahwa sastra membuat orang lebih bijak. Membaca sastra adalah salah satu cara terbaik dan tentunya salah satu cara paling menyenangkan untuk memahami keberagaman masyarakat dan peristiwa yang menakjubkan di dunia kita—tambah pula, dunia lain yang bisa dibayangkan. Di antara cerita-cerita dalam sastra, kita akan berbagi pengalaman dengan seorang lelaki tua konservatif yang menyaksikan dari Mississippi kesayangannya kemajuan peradaban yang sangat pesat. Kita akan menempati pikiran seorang pembunuh kejam yang tidak bisa membuat jantung korbannya berhenti berdebar. Kita akan belajar sesuatu tentang perasaan seorang ibu ketika diberi tahu bahwa putrinya yang bermasalah mungkin memiliki masa depan yang cerah. Kita akan merasakan bagaimana rasanya kembali ke sekolah dasar di usia tiga puluhan karena adanya kesalahan pada sistem pendidikan. Hal tersebut didapatkan dari sastra, semoga hal ini mampu menggugah kita akan pengalaman lainnya yang lebih kaya dan menanti kita pada lembaran-lembaran halaman sastra.
Seorang kritikus yang bijak pernah menyebut sastra sebagai sebuah perlengkapan untuk hidup. Tentu saja, novel dan cerita pendek memberikan cara terbaik dan sangat aman untuk merasakan gaya hidup yang sangat berbeda dari gaya hidup kita sekarang. Jika pedesaan Inggris pada abad kedelapan belas menarik minat kita, bacalah Tom Jones karya Henry Fielding. Jika Anda ingin mengetahui tentang kehidupan di laut di zaman kapal layar, tidak ada pengalaman yang lebih baik daripada Herman Melville atau Joseph Conrad. Jika Anda penasaran bagaimana rasanya menjadi penjudi, tidak ada risalah psikiatris yang dapat menandingi novel The Gambler karya Dostoevsky—memang benar, Sigmund Freud begitu yakin akan kekuatan narasi fiksi dalam menjelaskan jiwa manusia sehingga ia membumbui buku-bukunya dengan kutipan dari novel.
Dapatkah kita membayangkan sesuatu yang lebih menarik daripada menukar identitas kita sendiri untuk sementara waktu dan tanpa bahaya kehilangan identitas itu demi identitas orang lain? Atau secara imajinatif melakukan perjalanan melintasi dunia yang jauh dari dunia yang kita jejaki sekarang? Membaca sastra adalah cara yang menyenangkan untuk mendapatkan semua pengalaman itu. []
Fio F. Yussup
_____________
*Diterjemahkan dari pengantar buku Reading Narrative Fiction karya Saymour Chatman yang diterbitkan tahun 1993 oleh Macmillan Publishing Company, New York.
Pustaka Acuan
Chatman, S. (1993). “Introduction: The Pleasures of Reading Fiction”. Reading Narrative Fiction: halaman 1-6. New York. Macmillan Publishing Company.
Comments