Sewaktu berkelana di rimba siber, aku bertemu Jemi Batin Tikal yang lagi bercerita tentang sebuah Pengumuman Kesepian di Koran di beranda Marewai, media yang berbasis di Padang. Itu adalah perjumpaan pertama kami dan aku akan mengisahkannya kembali kini dan di sini.
***
Lalu-lalang orang-orang, wajah murung, kerinduan akan hari Minggu yang baru saja berakhir enam jam silam adalah rangkaian spektakel pada mukadimah cerpen yang terbit 18 Juli 2021 itu. Penggambaran nan lambat cenderung monoton tentang situasi tersebut pada alinea-alinea awal seakan menandai bahwa cerpen ini memang diazamkan untuk membuat pembacanya ikut terlibat dalam atmosfer membosankan sebagaimana dirasakan si protagonis. Sebenarnya rentetan kondisi itu tertampil begitu detail: mimpi tentang sebuah saat di mana ia membayangkan sesuatu yang tak dimilikinya pada masa kini, penceritaan akan buku-buku yang habis dibacanya, atau celotehan soal masa depan sastra.
Semua itu dijalin dengan subtil sebagai introduksi menuju apa yang dijadikan tema sentralnya. Sebab dengan segala kebosanan-kebosanan itu, syahdan si tokoh mencoba melawannya: menebus sebuah koran dengan harapan memupus kejenuhan. Maka rubrik demi rubrik, dari pagina yang satu berpindah ke yang lainnya, ia membaca dengan keyakinan untuk tak akan melewatkan sesuatu pun, sebab konon, pengabaian adalah kekejaman yang tiada terperi.
Sewaktu membaca tajuknya, semula aku terbayang pada sebuah kota yang muram di mana sekujur batin para warganya lebam. Mereka teralienasi. Mereka begitu depresif. Mereka kesepian dan ingin lekas mati. Di tengah lanskap itu aku terkenang pada sebuah epidemi bunuh diri yang menjelma fenomena kolektif-lunatik dalam cerpen Rio Johan. Tapi sesegara bayangan itu pudar manakala bertemu Surat Pembaca yang dinukil sang pengarang dari Koran Kompas edisi 7 Juni 2020 itu.
Begini: “Yang terhormat redaksi, saya ingin bertanya tentang ke mana perginya kolom puisi. Sudah lama saya menyimpan pertanyaan itu dalam hati sambil sesekali menduga-duga sendiri. Masih bisakah saya meminta agar kolom puisi kembali dibuka?
“Apakah saya ingin agar puisi saya dimuat di sana? Mungkin iya. Namun, sesungguhnya, saya amat rindu membaca puisi-puisi di kolom tersebut dan mendiskusikannya dengan beberapa kawan.
“Saya memang sering kesepian, merasa orang-orang semakin asing. Puisi menemani meski sering juga muncul pertanyaan, ‘Siapa yang membutuhkan puisi?’ Saya paham, saya hanya seorang yang kesepian”.
Pengumuman itu tak sedramatik yang kubayangkan, melainkan cuma sebaris kalimat menyedihkan yang menutup surat pembaca tersebut. Saya paham, saya hanya seorang yang kesepian. Tapi apa istimewanya mengumumkan kesepian di sebuah koran nasional? Lagi pula tiap orang memiliki kesepiannya sendiri (atau dalam puisi Jemi, ia mengatakan: kita sama mengerti bahwa kesedihan kesepian takkan mampu ditampung luas-dalam lautan[1]) Namun segeralah aku menemukan sisi tragik-ironik dari sesuatu yang disebut tolol dan tak hentinya ditertawakan sang protagonis sampai tiga hari kemudian itu. Surat pembaca tersebut dikirimkan seorang kawan si tokoh. Penyair malang yang mencintai seorang perempuan dengan cinta platonik – yang usai peristiwa itu, ia ditemukan pada rubrik obituarium. Mati dicekik sepi.
Membaca cerpen tersebut mengantarkanku pada sastra sebagai palagan batiniah manusia. Maksudku, dalam karya sastra seseorang menemukan gambaran dirinya entah yang selama ini terabaikan, disangkal, atau tertindas. Adalah hal wajar seseorang meminati sebuah drama atau roman, misalnya. Sebab, minat tersebut hadir dari kenyataan bahwa ia mengenali perasaan atau pasi (passion) yang kita rasakan dalam sebuah karya[2]. Singkatnya, dalam sastra seseorang mengetahui apa yang semula tak diketahui tentang dirinya. Sastra menyajikan kebenaran. Kebenaran yang tak diakui, kebenaran yang direpresi, dan di situlah letak kekuatannya. In casu, kawan dari tokoh utama cerpen ini mengharapkan kehadiran kembali kolom puisi sebab darinya ia tak merasakan sepi.
Namun mengapa cuma ada sedikit tempat bagi pembicaraan tentangnya jika memang hal tersebut adalah apa yang coba diketengahkan? Adakah kesulitan atau malah ketidakmungkinan menyelami jiwa “orang lain” seperti dipaparkan Henri Chambert-Loir sewaktu membahas sekumpulan cerpen Mimpi Masa Silamnya Ajip Rosidi juga dialami oleh Jemi?
Kesepian yang dihadapi – yang dijadikan tajuk cerpen ini – justru ditampilkan dengan samar. Term “sepi” diletakkan pada sisi paling luar cerita, seakan-akan tak termasuk ke dalam dunia cerpen tersebut. Aku tak menemukan kejelasan struktur kausalitas dari paparan awal selain sang protagonis tiba-tiba bertemu kawannya yang kesepian di kolom surat pembaca, dan setelah itu menjumpainya di rubrik obituari, mati kesepian.
Yang semula ditertawakan berakhir menjelma ironi. Seandainya Jamz lebih simpatik tatkala membaca surat yang dikirimkan kawannya kepada redaksi koran tersebut, mendatanginya, membelikan ia secangkir kopi, mengajaknya bicara, mungkin ia tak akan mati. Betapa kontradiktif, ia berceloteh tentang pengabaian yang baginya adalah bentuk kekejaman tak terperikan. Namun kesepian kawannya malah ia tertawakan. Memang tokoh utama bagaimana pun tak mesti melulu dalam posisi benar, justru dari ketidaksimpatisan itu aku menemukan sebuah siratan: bahwa “Jangan membiarkan seseorang kesepian!”
Bandung, 23 September 2021
Comments