top of page

Apa Sih


Sudhir Patwardhan - Inside/Window (2009).

Buat Ulfa dan Cindy atas cerpennya yang terbit di Jumpa


Membaca Kemurungan di Atas Hingar Bingar adalah cara lain memahami keterasingan lewat kacamata seorang perantau. Betapa pun penjudulan cerpen tersebut ditulis salah dan karena kesalahan semacam itu Indonesia Tera, yang konon adalah penjaga marwah bahasa dan sastra, dengan arogan akan langsung tak berminat membacanya, tetapi menyelisik bagaimana faktor kesepian memengaruhi persentuhan pengarang dengan dunia di dalam teks menjadi tema yang menarik buat dibicarakan.


Berbeda dengan kisah seorang tua pemabuk dan gemar berjudi yang sengaja diceritakan seekor ayam di laman detik.com demi anaknya sudi nengok lelaki murung nan menyedihkan itu[1], Kemurungan di Atas Hingar Bingar menawarkan perenungan seorang mahasiswa rantau tanpa nama atau tanda identitas lainnya atas kesepian yang menguar-tersebar di titik-titik kota.


Dalam cerpen tersebut, aku-tokoh menemukan dirinya terperangkap di kamar indekos 2x3 meter di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit tempat para arwah bermukim, mungkin. Sepanjang penceritaannya ia meloka kota dengan lanskap suram – meskipun ilustrasi yang membantu memperjelas isi cerpen tersebut tak menggambarkan hal demikian – yang barangkali tak seindah citraan media.


Namun tak ada yang istimewa dari kesemuanya. Tikus atau kecoak yang berpapasan sewaktu berjalan di sekitar gang sempit bukan hal spektakuler. Sementara di deretan rumah yang berdesak-desak itu, seorang bapak yang barangkali meminjam dan menggubah ulang judul puisi Jokpin bahwa “Tuhan masih tak akan datang malam ini” juga tak hadir sebagai tawaran luks. Semuanya bukan hal baru: warga Gang Apandi yang pintu gangnya tepat berada di sisi Toko Buku Djawa di Jalan Braga dengan segala kemegahannya, mengalami sengketa tanah. RW 11 Tamansari tak jauh beda, apa lagi lawannya Pemerintah Kota sendiri. Tapi daftar kemurungan tersebut memang tak ditampilkan.


Sebagaimana disebut pada mukadimah tulisan ini, kondisi keterasingan, entah apa pun alasannya, adalah suatu fenomena luks tersendiri sebagai tema karya sastra. Dalam cerpen tersebut, dislokasi geografis dari tanah kelahiran mungkin dapat diasumsikan sebagai titik berangkatnya. Aku-tokoh datang ke tanah rantau dan menemukan sekujur batinnya lebam oleh hantaman godam kesepian.


Senarai pendek ini, kukira menjadi komponen yang membentuk kondisi si tokoh: rumah nun yang jauh; atau ingatan tentang sorga; atau rahim ibunda yang tak mungkin lagi dimasuki kembali seorang bocah meski kaosnya hidup membikin air mata tak henti menganak di pipi. Aku tak tahu. Dua pengarang cerpen tersebut tak menjelaskannya. Tapi rantau, setidaknya bagi Saut Situmorang dan aku menyepakatinya dalam tulisan ini, adalah keberangkatan menuju dewasa yang memaksa seseorang menjadi asing. Asing terhadap kampung halaman sendiri. Menjadi orang asing di tengah orang-orang asing lain. Bahkan menjadi asing terhadap diri sendiri.


Apa yang mungkin diketengahkan lewat aku-tokoh adalah bagaimana keterasingan memengaruhi individu dalam menghadapi realitas[2]. Entah itu hambatan dalam membentuk koneksi sosial seperti digambarkan dengan solilokui “si aku” yang senantiasa kesepian, merasa ditolak, terabaikan, atau bagaimana pengharapannya tak sesuai sepertikan desain dalam benaknya: “’Mengapa aku selalu merasa menjadi orang yang paling menyedihkan dan kesepian di kota yang tak pernah tidur?’ Semuanya tak terjelaskan… Semuanya abu-abu dan tak berpihak padaku. Aku benci dunia ini”.


Akan tetapi, kegelisahan subjektif tentang hidup yang sebagaimana adanya seperti tai anjing ini tak dijalin dengan subtil. Si tokoh dikesankan cuma sembunyi-sembunyi mengamati serta malu-malu mengutuki tanah rantaunya. Persentuhannya dengan dunia di dalam teks tersebut tak begitu intim sehingga kebenciannya tak utuh dan karenanya ia gagal membentuk karakterisasi aku-tokoh yang solid. Dan, sebab penokohan tersebut berada dalam posisi ambang, maka si narator terbata-bata membentuk cerita. Sebagai prosa, ia gagal membentuk ketajaman penokohan dan kejernihan peristiwa padahal dua hal tersebut adalah unsur yang tak bisa dipisahkan sebagai bagian integral dari teks cerpen. Penghadiran unsur tersebut beranjak dari soliditas karya[3], yaitu mengenai sejauh mana kerangka fiksional dipertahankan secara konsekuen, konsisten dalam komposisi, gaya, dan aspek psikologis.


Semisal kesepian adalah tema utama yang coba ditampilkan, mereka pun tak lebih dalam dan lebih dalam lagi menggali kegelapan relung pikiran manusia itu. Lewat gaya tutur orang-pertama, plotnya mengalur dengan kisahan “plain tales”. Adakah ini sebentuk sikap yang dihadirkan secara sengaja atas ingar bingar yang lain, yakni sastra kontemporer yang lagi sibuk merekam pandemi dan bagaimana manusia berkelindan di dalamnya – dalam artian mereka kontra atas euforia keterpesonaan terhadap pandemi sebagai lumbung ide bagi karya sastra saat ini? Aku tak pernah tahu. Apakah aku-tokoh membenci dunia ini semata karena kota yang tak sesuai seperti dikesankan dalam benaknya? Ataukah ia benar-benar membenci dunia sebab tak pernah dimintai persetujuan untuk hidup?


Senarai pertanyaan itu tak terjawab.



ANGGA SAPUTRA

[1] Bacaan lebih lanjut dapat ditemui dalam cerpen Hari Niskala, Hidup Ini Pendek Tapi Kesepian Sangat Panjang. Detik.com, 29 Maret 2020. [2] Yurni, Perasaan Kesepian Dan Self-Esteem Pada Mahasiswa. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.15 No.4 [3] Ambarini Asriningsih & Nazla Maharani, Jendela Kritik Sastra. Universitas PGRI Semarang, 2016.

Comentarios


Logo Invert.png

Suaka Sastra

  • Instagram

Antinovel merupakan rak paling ujung bagi sekumpulan catatan kolase cemas yang ditulis menjelang maut. Di situs ini, secara spesifik Antinovel – sebagai media amatiran – berupaya menyalin peristiwa-peristiwa (sebagai) sastra.

© 2023 by The Artifact.

Proudly created with Wix.com

bottom of page