Di Mexico City pada 1843, ada seorang lelaki yang sorot matanya adalah kesedihan sementara sekujur batinnya tergores luka yang bahkan tak bisa dihapus oleh waktu. Nada bicaranya penuh teror keputusasaan kala ia menceritakan sosok Carolina, perempuan yang selama ini ia cintai. Ia menghabisi hari demi hari untuk mencintainya dengan cinta seorang anak kepada sang ibu. Tetapi bagian tragisnya, perempuan itu tak pernah tahu bahwa ia dicintai Alfredo – sang lelaki malang yang dikisahkan Manuel Payno dalam cerpen Amor Secreto[1].
Alfredo pertama kali melihat senyum Carolina pada sebuah malam pesta dansa dan beberapa detik kemudian tetiba jatuh cinta padanya. Dan seandainya ia tahu bahwa pertemuan itu akan menjadi kali pertama dan terakhir mereka, mungkin ia akan mengungkap perasaannya betapa pun kedengaran gila. Ia memang masih bisa memandangi Carolina, ia mendatangi setiap tempat yang didatanginya.
Itulah siksaan psikologisnya: mencintai seorang perempuan dengan cinta yang sunyi dan mengikutinya dengan perasaan obsesif cum hati yang hancur ke mana pun ia pergi. Pada hari ketika Carolina mati, ia juga masih mengikuti perempuan itu ke pemakamannya, menggelar perpisahan paling akhir dengan sosok yang tak henti-hentinya ia cintai itu.
Dari kisah Amor Secreto kutemukan senarai cara menyakitkan dalam mencintai dan aku akan menyusun ulang semuanya itu untuk kau. Simaklah.
Stalking akun media sosialnya
Seandainya Manuel Payno menerbitkan cerpen tersebut pada tahun ketika media sosial telah hadir bagi umat manusia, Carolina mungkin akan digambarkan sebagai seorang perempuan yang senantiasa merekam dan mengunggah momen yang pernah ia jalani dan mengarsipkannya pada judul Highlights Instagram tersendiri. Alfredo mungkin akan masih mengikutinya secara obsesif ke mana pun Carolina pergi, untuk semata melihat secara langsung simpul senyuman yang tersulam pada bibirnya. Tapi kisahan cerpen tersebut barangkali tak akan lagi berkutat pada aktivitas Alfredo mengikuti perempuan itu dan bagaimana ia merasakan suatu ambivalensi yang merimbuni sekujur batinnya.
Kini, paling-paling cuma butuh paket internet, maka kau bisa mengetahui hampir setiap hal tentangnya, dari kesah soal tugas kuliah di akun Twitter hingga unggahan Story Instagram yang menampilkan kencannya dengan kekasih atau momen lain yang ia lewati.
Bersyukurlah atas penemuan mahadahsyat itu. Kau tak mesti mengeluarkan ongkos transportasi umum atau uang bensin atau tiket teater serta tenaga. Kau bisa melakukannya sambil rebahan dan sesekali mengusap air mata.
Media sosial memfasilitasi obsesi untuk mengetahui setiap hal yang berkelindan dengan sosok yang kau cinta. Tak ada yang salah dengan keinginan itu. Sebab ia yang sedang apa lebih menarik ketimbang berita di luar sana. Betapa pun menyakitkan ketika menyadari ada sosok lain yang ia cintai dan darinya ia senantiasa ingin bersamanya dalam waktu yang amat panjang sepanjang selamanya, tapi setidaknya kau mengetahui bahwa ia bahagia.
Buatlah skenario imajinatif yang seolah-olah akan kalian jalani
Selagi memandangi Carolina di setiap tempat yang ia datangi, Alfredo membayangkan perempuan itu akan menghampiri dan mengatakan betapa ia juga mencintainya sebagaimana Alfredo mencintai Carolina. Maka, kau juga bisa melakukan hal sama.
Sambil memandangi foto yang kau simpan dari media sosialnya itu, bayangkanlah sebuah saat di mana kalian bersama menghabisi hari. Pergi ke toko buku, kau memotretnya diam-diam selagi ia memilah apa yang hendak ditebus di meja kasir. Atau kau membayangkan bagaimana kalian duduk-duduk pada sebuah sore yang suam di tengah sabana, bercerita tentang segalanya sambil memandangi semburat senja.
Percayalah, betapa menyakitkan membayangkannya begitu kau menyadari semua itu cuma akan tinggal sebagai kemungkinan yang entah akan jadi kenyataan.
Tapi meski menyakitkan, bersetialah untuk menyangkal perasaan itu
Ini menjadi hal utama dari apa yang dilakukan Alfredo. Sungguhpun ia tahu bahwa cintanya tak berbalas dan dari peristiwa tersebut ia merasakan sakit yang tak tertanggungkan, Alfredo tak pernah berhenti mencintai Carolina.
Untuk menjadi seseorang yang menderita secara profesional, kau mesti menyangkal setiap kesadaran bahwa yang kau jalani menyakitkan. Reaksi terhadap rasa sakit adalah keinginan untuk pulih, eksepsi kau memang telah putus asa menyusuri hidup ini dan bersemoga segala sesuatunya lekas berakhir. Tiap kali kesadaran ini muncul dan kau tak ingin lagi bergelut dengan rasa sakit tersebut, tenggelamkan dalam-dalam ide yang demikian.
Jangan bunuh diri
Betapa pun kau tak bisa setia untuk menyangkal penderitaan demi penderitaan yang hadir, ingatlah ini: tak ada kewajiban untuk bersikap tegar melewati setiap hal yang menyakitkan. Wajah pucat Alfredo, rambutnya yang berantakan, mata yang memancarkan kesedihan, adalah senarai yang menandai bahwa situasi yang dialaminya betapa sakit dan ia tak menyembunyikannya.
Alfredo senantiasa menikmati semuanya itu demi mempertahankan cintanya. Lagi pula, keputusasaan sejati tak pernah hadir di tengah situasi melelahkan dalam perjuangan yang tak seimbang. Sesungguhnya, keputusasaan datang ketika kau tak lagi tahu mengapa kau mesti bertahan dan berjuang. Dan Alfredo masih memiliki alasan untuk itu. Semisal ia memutuskan mengakhiri rasa sakitnya, ia tak akan bisa mencintai Carolina sampai detik paling akhir dari hidup perempuan itu.
Memang, membayangkan hidupmu hancur lebih mudah ketimbang membayangkan suatu hari di mana kalian akan bersama sebagai sepasang kekasih. Tapi tak apa. Bertahanlah. Nikmati penderitaan yang hadir selagi kau mencintai perempuan yang kau cintai. Jangan menjadikan bunuh diri sebagai jalan lain untuk melewati rasa sakit itu. Mesti kau ingat, kau tak akan lagi bisa mencintainya betapa pun sunyi cintamu itu.
[1] Cerpen tersebut diterbitkan pertama kali oleh El Museo Mexicano pada 1843. Bacaan lebih lanjut dapat ditemui di laman fiksilotus.com.
תגובות