top of page

Tentang Kritik dan Ironi Tere Liye


Antonio Zamora - Trash Can (1965)

– Buat Fio Yussuf


Kalau seorang penulis, yang konon telah menerbitkan puluhan buku, menyiratkan bahwa ia tak pernah menginginkan kritik, betapalah kesepian karya-karya yang dilahirkannya. Arogansi semacam itu, yakni keengganan untuk menerima kritik, hanya pantas diungkapkan oleh mereka yang menulis sesuatu untuk disimpan sebagai tumpukan berkas berdebu, oleh mereka yang tak berani menyerahkan dirinya pada pertanggungjawaban. Dan itu adalah tipikal Tere Liye.


Bukankah ironis bila seorang “penulis mahsyur” – moga terberkatilah namanya – mengatakan kalau “jangan mau jadi kritikus buku, tapi TIDAK pernah menulis buku” di mana dia menyuruh untuk tak menghabiskan waktu demi hal tersebut? Hal itu beberapa hari lalu jadi perbincangan di lini masa Twitter. Terkalkulasi dari cuitan milik akun @kumismussolini, tweet tersebut disukai 2.739 akun, 1.521 retweet, serta 139 balasan per tanggal 5 Mei 2021.


Tentu saja tiap individu punya kebebasan buat mempublikasikan karya hasil percumbuannya dengan pemikiran, sakit punggung, dan pegal mata secara bersamaan saban malam. Di sudut yang lain, ketika karya tersebut terlempar ke hadapan mata pembaca, mereka berhak berpendapat dan mengemukakan pendapatnya akan hal tersebut. Namun, tentang siapa kritikus sastra itu, seperti yang panjang lebar dijelaskan Budi Darma dalam Solilukui Kumpulan Esai Sastranya bukan hal relevan dalam persoalan ini.


Sebab betapa pun, apa yang dituliskan Tere Liye bukanlah susastra. Jangankan melakukan interaksi dengan realitas di mana sastra hadir merekam apa-apa yang terjadi dalam lintasan waktu atau kesudian bertukar sepah dengan hidup yang laiknya tai kucing ini sebagai sepasang kekasih; buat berendah hati menerima kritik pun ia tak mau – aku cuma ingin menyoalkan betapa kesepian karya-karyanya.


Moga ia pura-pura lupa kalau kehadiran kritik terhadap karya bermula dari pertemuan antara pembaca dengan sebuah karya, yang dengan demikian ia tak mestinya berprasangka kalau kedua peran (pengarang dan kritikus) itu akan saling menegasikan kehadiran yang satu dan kehadiran yang lainnnya. Sayangnya, ia kadung menghancurkan sendiri ruang perjamuan itu. Lagi pula bukankah, meminjam pertanyaan Saut Situmorang dalam eseinya Dicari Kritik(kus) Sastra Indonesia, kritik adalah semacam kekasih bagi sebuah karya, agar ia tak halusinasif dan kering meranggas?


Kritik, terlebih kritik sastra ilmiah, tak mungkin hadir-menyerua dari sentimen yang tak berdasar dan semata-mata impresi kritikus terhadap apa yang ditemuinya dalam sebuah karya. Betapa pun pada saat seseorang menggelar kritik ia tak mesti menyembunyikan “dirinya sebagai individu” dalam metode dan ukuran umum kritik, sebab dari sanalah ia mampu menghidupkan dan mengungkapkan kembali secara benderang dan utuh pengalamannya ketika berada dalam perjumpaan sebagai pembaca dengan karya[1]. Syahdan, segala ungkapan akan mengarah pada pertanggungjawaban terhadap apa yang diungkapkannya.


Adalah sebuah keniscayaan bilamana tulisan Saut Situmorang ihwal puisi-puisi Agus Sarjono lahir dari proses pembacaan panjang atas buku antologi tersebut. Bahkan, justru Sautlah yang menyeretku – mungkin juga banyak orang di luar sana – pada perkenalan dengan karya Agus Sarjono lainnya. Hal demikian tak pelak adalah riak dari kehadiran kritik itu sendiri, yang disebut Ambarini Asriningsih dalam Jendela Kritik Sastra, sebagai upaya memahami dan memaknai ungkapan pengarang yang disampaikan, baik secara eksplisit maupun implisit. Atau, dalam kalimat lainnya ia mengutip Andries Teeuw yang menyatakan bahwa, “Kebernilaian karya sastra akan menjadi satu keseluruhan yang bulat. Kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan tersebut bertujuan untuk mengarahkan pembaca dalam menanggapi dan menilai terhadap karya sastra”.


Kita memang mesti mengakui bio akun Instagramnya kalau ia adalah seorang penulis yang produktif. Writer 30+ books, pampangnya. Itu adalah suatu usaha luhur. Namun, meniadakan ruang bagi kritik seolah ketika karya-karya tersebut terbit harus selalu diazani pujian, bukanlah kelakuan seorang penulis. Barangkali, sikap defensif semacam itu hadir demi mempertahankan pamornya sebagai “nabi kecil novel populer”, sebagai seseorang yang berharap tiap karyanya mejeng di rak berlabel best seller.


Jika benar demikian, ia tak segenap hati mendedikasikan proses kreatifnya terhadap kebudayaan dan kedirian manusia. Sebab, ia luput mencatat kalau kritik (sastra) disusun dengan spirit intelektual dan perasaan tanggung jawab terhadap kesusastraan. Sebab itu pulalah, aku ragu menyebut apa yang diterbitkannya sebagai susastra.



ANGGA, Bukan Kritikus

[1] Ambarini Asriningsih (2016). Jendela Kritik Sastra. Semarang: Universitas PGRI Semarang. hlm. 6.

Comentários


Logo Invert.png

Suaka Sastra

  • Instagram

Antinovel merupakan rak paling ujung bagi sekumpulan catatan kolase cemas yang ditulis menjelang maut. Di situs ini, secara spesifik Antinovel – sebagai media amatiran – berupaya menyalin peristiwa-peristiwa (sebagai) sastra.

© 2023 by The Artifact.

Proudly created with Wix.com

bottom of page